Seorang laki-laki mengunjungi Habib Abdullah Al-Haddad.
“Aku ingin membangun sebuah mesjid,” kata laki-laki itu.
“Perbaikilah niatmu.”
“Aku telah memperbaiki niatku.”
“Baiklah, jika niatmu telah benar, aku ingin tanya, bagaimana jika setelah mesjid selesai dibangun masyarakat menganggap orang lain yang telah membangunnya? Mereka sama sekali tidak menyebut namamu,” tanya beliau.
“Hal itu tentu akan terasa berat bagiku,” jawabnya.
“Niatmu belum benar,” kata Habib Abdullah.
Datang seorang lelaki lain.
“Aku ingin membangun mesjid ikhlas demi Allah.”
“Berikanlah kepadaku dana yang telah kamu siapkan untuk membangun mesjid. Nanti terserah pada Habibmu Abdullah, ia akan gunakan uang itu untuk membangun mesjid, makan atau dibagi-bagikan. Tetapi, di akhirat nanti, kamu akan memperoleh pahala membangun mesjid.”
“Akan kupikir-pikir dahulu.”
Setelah berpikir, akhirnya lelaki itu menolak usulan Habib Abdullah.
“Harta tidak akan keluar kecuali sebagaimana datangnya,” kata Habib Abdullah Al-Haddad.
Seorang laki-laki lain datang menemui Habib Abdullah.
“Ya habib, aku ini seorang pedagang. Sudah lama aku berniat membangun mesjid semata-mata karena Allah. Untuk mewujudkan cita-citaku ini, aku menabung tiap kali memperoleh keuntungan. Sekarang tabunganku telah cukup untuk membangun mesjid.”
“Jika kamu benar-benar ingin membangun mesjid, berikanlah tabunganmu itu kepadaku, terserah Habibmu Abdullah, akan ia gunakan uang itu untuk membangun mesjid, menyedekahkannya atau memakannya. Tetapi, di surga nanti, kamu akan memperoleh pahala membangun mesjid dan pahala orang yang beribadah di dalamnya.”
“Ya habib, jika benar ucapanmu itu, akan kuserahkan semua tabunganku kepadamu, dan aku tidak perlu bersusah-payah memikirkan pembangunan mesjid. Aku akan pulang sekarang untuk mengirimkan uang itu kepadamu. Gunakanlah uang itu sesukamu,” kata lelaki itu kegirangan.
“Habibmu ini tidak membutuhkan tabunganmu. Ia hanya ingin menguji niatmu. Sekarang, bangunlah sebuah mesjid dan umumkanlah rencana pembangunan itu kepada masyarakat, karena niatmu telah benar.” (I:93)
Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman Asseqaf, Tuhfatul Asyraf, Kisah dan Hikmah, Putera Riyadi.
“Aku ingin membangun sebuah mesjid,” kata laki-laki itu.
“Perbaikilah niatmu.”
“Aku telah memperbaiki niatku.”
“Baiklah, jika niatmu telah benar, aku ingin tanya, bagaimana jika setelah mesjid selesai dibangun masyarakat menganggap orang lain yang telah membangunnya? Mereka sama sekali tidak menyebut namamu,” tanya beliau.
“Hal itu tentu akan terasa berat bagiku,” jawabnya.
“Niatmu belum benar,” kata Habib Abdullah.
Datang seorang lelaki lain.
“Aku ingin membangun mesjid ikhlas demi Allah.”
“Berikanlah kepadaku dana yang telah kamu siapkan untuk membangun mesjid. Nanti terserah pada Habibmu Abdullah, ia akan gunakan uang itu untuk membangun mesjid, makan atau dibagi-bagikan. Tetapi, di akhirat nanti, kamu akan memperoleh pahala membangun mesjid.”
“Akan kupikir-pikir dahulu.”
Setelah berpikir, akhirnya lelaki itu menolak usulan Habib Abdullah.
“Harta tidak akan keluar kecuali sebagaimana datangnya,” kata Habib Abdullah Al-Haddad.
Seorang laki-laki lain datang menemui Habib Abdullah.
“Ya habib, aku ini seorang pedagang. Sudah lama aku berniat membangun mesjid semata-mata karena Allah. Untuk mewujudkan cita-citaku ini, aku menabung tiap kali memperoleh keuntungan. Sekarang tabunganku telah cukup untuk membangun mesjid.”
“Jika kamu benar-benar ingin membangun mesjid, berikanlah tabunganmu itu kepadaku, terserah Habibmu Abdullah, akan ia gunakan uang itu untuk membangun mesjid, menyedekahkannya atau memakannya. Tetapi, di surga nanti, kamu akan memperoleh pahala membangun mesjid dan pahala orang yang beribadah di dalamnya.”
“Ya habib, jika benar ucapanmu itu, akan kuserahkan semua tabunganku kepadamu, dan aku tidak perlu bersusah-payah memikirkan pembangunan mesjid. Aku akan pulang sekarang untuk mengirimkan uang itu kepadamu. Gunakanlah uang itu sesukamu,” kata lelaki itu kegirangan.
“Habibmu ini tidak membutuhkan tabunganmu. Ia hanya ingin menguji niatmu. Sekarang, bangunlah sebuah mesjid dan umumkanlah rencana pembangunan itu kepada masyarakat, karena niatmu telah benar.” (I:93)
Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman Asseqaf, Tuhfatul Asyraf, Kisah dan Hikmah, Putera Riyadi.
0 Response to "Mesjid dan Habib Abdullah"
Post a Comment