PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN
Oleh :
Imam Ahlussunnah Wal Jamaah Abad 21
Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani Makkah
BAB I
AQIDAH
AQIDAH
KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN
DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG
LARANGAN MENJATUHKAN VONIS KUFUR ( TAKFIR )
SECARA MEMBABI BUTA
Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik ( bil hikmah wal mau’idzoh al – hasanah ). Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl : 125, yang artinya:
Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk menggapai hasil yang diharapkan. Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.
Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu kamu menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh kamu telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.
Al-Allamah Al-Imam Al-Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad mengatakan, “ Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat ( ummat Islam ) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (Ma ‘ulima minaddin bidldloruroh), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu.
Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam (Ma‘lumun minaddin bidldloruroh) seperti masalah keesaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad SAW, kebangkitan di hari akhir, hisab ( perhitungan amal ), balasan, sorga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun ummat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :
1. Aspek isnad seperti hadits :
من كذب عليّ معتمدا فليتبوا مقعده من النار
\" Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka.\"
2. Aspek tingkatan kelompok perawi seperti kemutawatiran Al-Qur’an yang kemutawatirannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat dan timur dari aspek kajian, pembacaan, dan penghafalan serta ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.
Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temurun ( tawuturu ‘amalin wa tawarutsin ) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman Nabi sampai sekarang, atau mutawatir dari aspek informasi ( Tawaturu ‘ilmin ) seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.
Memvonis kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits disebutkan :
إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما.( رواه البخاري عن أبي هريرة رضي الله عنه )
\" Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya \"Hai kafir !\" maka vonis kufur telah jatuh pada salah satu dari keduanya.\" ( H.R.Bukhari dr Abu Hurairah R.A )
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.
Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda :
ثلاث من أصل الإيمان : الكف عمن قال : لا إله إلا الله لا نكفره بذنب ولا نخرجه عن الإسلام بالعمل , والجهاد ماض منذ بعثني الله إلى أن يقاتل آخر أمتي الدجال لا يبطله جور جائر
ولا عدل عادل والأقدار.( أخرجه أبو داود )
“Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.
Imam Al-Haramain pernah berkata, “ Jika ditanyakan kepadaku : Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar point-point yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.
Hanya Allah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.
SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ‘ABDUL WAHHAB
MENYANGKUT TAKFIR
Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab Rahimakumullah memiliki sikap mulia dalam hal pentakfiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka. Padahal Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab sendiri menolak semua pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sebagai berikut :
Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama didaerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku.
Diantaranya :
ucapan Sulaiman bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat
Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar.
Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid.
Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya: Wahai Makhluk paling mulia.
Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasulullah SAW maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi SAW, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya namakan Raudlul Syayaathiin.
Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah firman allah yang, Artinya :
\"Maha suci Engkau ( ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang besar.\" ( Q.S.An.Nuur : 16 )
Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi SAW. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah berfirman :
إنَّمَا يَفْتَرِى الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِآيَاتِ الله
\"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah.\" ( Q.S.An.Nahl : 105 )
Kafir Qurays melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi SAW mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firman-Nya :
إن الذين سبقت لهم منا الحسنى أولئك عنها مبعدون
\"Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami,
Mereka itu dijauhkan dari neraka.\"( Q.S.Al.Anbiyaa\` : 101 )
RISALAH PENTING LAIN
KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB
DALAM MASALAH PENTAKFIRAN
Risalah ini dikirimkan kepada Al-Suwaidi, seorang ulama Iraq. Sebelumnya Al-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakan mengenai apa yang diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh menjawab dalam risalahnya :
Tersebarnya kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang yang berakal ? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan demikian ?
Dan apa yang kalian katakan : Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Nabi SAW niscaya saya akan merealisasikannya, membakar dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun. Perkataan-perkataan ini dikategorikan kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbesit dalam hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi Al-Qur’an.
Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh berkata : Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, mengkafirkan Bushoiri karena ungkapannya : Wahai makhluk paling mulia, mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi SAW, kuburan kedua orang tua dan kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah Firman Allah yang Artinya :
\"Maha suci Engkau ( ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang besar.\"( Q.S.An.Nuur : 16 )
MEMAKI ORANG ISLAM ADALAH TINDAKAN FASIQ
DAN MEMERANGINYA ADALAH TINDAKAN KUFURKetahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberangan dengan kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah halal.
Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya ketika menuju Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup digunakan untuk menolak pemahaman harfiah ( literal ) dari judul di atas. Saat Khalid tiba di tempat mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid mengeluarkan instruksi, “Peluklah agama Islam!”. “ Kami adalah kaum muslimin,” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian dan turunlah.” Lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa mempercayai kamu dan orang-orang yang bersama kamu.” Jawab mereka kembali. “Tidak ada perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid. Akhirnya sebagian kaum menuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai berai.
Dalam riwayat lain redaksinya sebagai berikut : Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”. “Kami adalah kaum muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di dalamnya.” Jawab mereka. Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamnaa , akhirnya mereka mengatakan Shoba’naa Shoba’naa. “ Buat apa senjata yang kalian bawa?, tanya Khalid. “Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai tawanan!” Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.
Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini sampai kepada Nabi SAW, beliau berkata, “ Ya Allah, saya tidak bertanggung jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan Shoba’naa Shoba’naa dengan angkuh dan menolak tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah adalah ketergesa-gesaan dan ketidak hati-hatiannya dalam menangani kasus ini sebelum mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan Shoba’naa Shoba’naa. Nabi SAW sendiri pernah mengatakan :
نعم عبد الله أخو العشيرة خالد بن الوليد من سيوف الله سله الله على الكافرين والمنافقين
“ Sebaik-baik hamba Allah adalah saudara kabilah Qurays ; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.
Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah SAW berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abi Dzibyan. Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah SAW mengirim kami ke desa Al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan.
Ketika kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshor mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi SAW telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau pun berkata, “ Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan La Ilaaha illallah?” “Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. “Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.
Sayyidina Ali RA pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir ?”. “Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran”. “Apakah mereka kaum munafik ?”. “Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat Allah”. “Terus siapakah mereka ?” Ali kembali ditanya. “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta dan tuli”, jawab Ali.
STATUS KHALIQ DAN STATUS MAKHLUQ
Perbedaan antara status Khaliq dan makhluq adalah garis pemisah antara kufur dan iman. Kami meyakini bahwa orang mencampur-adukkan kedua status ini berarti dia telah kafir. Wal ‘Iyadz billah.
Masing-masing dari kedua status di atas memiliki hak-hak spesifik. Namun, dalam masalah ini masih ada hal-hal, khususnya yang berkaitan dengan Nabi dan sifat-sifat eksklusif beliau yang membedakan dengan manusia biasa dan membuat beliau lebih tinggi dari mereka. Hal-hal seperti ini kadang tidak dimengerti oleh sebagian orang yang memiliki keterbatasan akal, pemikiran, pandangan dan pemahaman. Kelompok ini mudah terburu-buru memvonis kafir terhadap mereka yang mengapresiasi hal-hal tersebut dan mengeluarkan mereka dari agama Islam karena menurut kelompok ini menetapkan sifat-sifat khusus untuk Nabi SAW adalah mencampuradukkan antara status Khaliq dan makhluq serta mengangkat status Nabi dalam status ketuhanan. Kami sungguh memohon ampun kepada Allah dari tindakan mencampur-adukkan seperti ini.
Berkat karunia Allah kami mengetahui apa yang wajib bagi Allah dan Rasul serta mengetahui apa yang murni hak Allah dan yang murni hak rasul secara proporsional tidak melampaui batas sampai memberi beliau sifat-sifat khusus ketuhanan yaitu menolak dan memberi, memberi manfaat dan bahaya secara independen ( di luar kehendak Allah ), kekuasaan yang sempurna dan komprehensif, menciptakan, memiliki, mengatur, satu-satunya yang memiliki kesempurnaan, keagungan dan kesucian dan satu-satunya yang berhak untuk dijadikan obyek beribadah dengan beragam bentuk, cara dan tingkatannya.
Seandainya yang dianggap melampaui batas adalah berlebihan dalam mencintai, taat dan keterikatan dengan beliau maka hal ini adalah sikap yang terpuji dan dianjurkan sebagaimana dalam sebuah hadits :
لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم
“Janganlah kalian mengkultuskanku sebagaimana kaum Nashrani mengkultuskan Isa ibn Maryam”.
Maksud dari hadits tersebut berarti bahwa sanjungan, berlebih-lebihan dan memuji beliau di bawah batas di atas adalah tindakan terpuji. Seandainya maksud hadits tidak seperti ini berarti yang dimaksud adalah larangan untuk memberikan sanjungan dan memuji secara mutlak. Pandangan ini jelas tidak akan diucapkan oleh orang Islam paling bodoh sekalipun. Wajib bagi kita memuliakan orang yang dimuliakan Allah dan diperintahkan untuk memuliakannya. Betul, memang kita wajib untuk tidak mensifati Nabi SAW dengan sifat-sifat ketuhanan apapun. Imam Al-Bushoiri RA berkata :
دع ما ادعته النصارى في نبيهم واحكم بما شئت مدحا فيه واحتكم
Jauhilah klaim Nashrani akan Nabi mereka
Berilah beliau pujian sesukamu dengan bahasa yang baik
Memuliakan Nabi SAW tidak dengan sifat-sifat ketuhanan sama sekali bukan dikategorikan kufur atau kemusyrikan. Malah diklasifikasikan sebagai salah satu ketaatan dan ibadah yang besar. Demikian pula setiap orang yang dimuliakan Allah seperti para Nabi, rasul, malaikat, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Allah berfirman yang Artinya :
Demikianlah ( perintah Allah ). dan Barangsiapa mengagungkan syi\`ar-syi\`ar Allah[990], Maka Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati.( Q.S. Al.Hajj : 32 )
Demikianlah ( perintah Allah ). dan Barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat
di sisi Allah Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.(Q.S.Al.Hajj : 30 )
Diantara obyek yang wajib dimuliakan adalah Ka’bah, Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim. Ketiga benda ini adalah batu namun Allah memerintahkan kita untuk memuliakannya dengan thawaf pada Ka’bah, mengusap Rukun Yamani, mencium Hajar Aswad, sholat di belakang maqam Ibrahim, dan wukuf untuk berdoa di dekat Mustajar, pintu Ka’bah dan Multazam. Tindakan kita terhadap benda-benda di muka bukan berarti beribadah kepada selain Allah dan meyakini pengaruh, manfaat, dan bahaya berasal dari selain-Nya. Semua hal ini tidak akan terjadi dari siapapun kecuali Allah SWT.
STATUS MAKHLUQ
Kami meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang bisa mengalami apa yang dialami manusia umumnya seperti sifat-sifat yang temporal dan penyakit-penyakit yang tidak mengurangi kedudukan beliau dan tidak membuat beliau dijauhi. Sebagaimana dikatakan oleh penyusun ‘Aqidatul ‘Awam :
و جائز في حقهم من عرض بغير نقص كخفيف المرض
Para rasul boleh mengalami sifat-sifat yang temporer yang tidak mengurangi kedudukan mereka seperti sakit ringan Rasulullah juga adalah seorang hamba yang tidak memiliki kemampuan memberi manfaat, bahaya, mati, hidup membangkitkan kepada dirinya sendiri kecuali apa yang telah dikehendaki Allah. Firman Allah yang Artinya :
Katakanlah: \"Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak ( pula ) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman\".( Q.S.Al.A\`raaf :188 )
Beliau juga telah mengemban risalah, menyampaikan amanah, menyadarkan ummat, membuang kesedihan dan berjihad fi sabilillah sampai ajal menjemputnya. Beliau berpulang ke sisi Allah dalam kondisi ridlo dan mendapat keridloan, seperti digambarkan dalam firman Allah yang Artinya :
Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati ( pula ).
( Q.S.Az.Zumar : 30 )
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu ( Muhammad ); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal ? ( Q.S.Al.Anbiyaa\` : 34 )
Kehambaan adalah sifat beliau yang paling mulia. Karena itu beliau membanggakannya dan berkata : “Saya hanyalah seorang hamba”. Allah menyifati beliau dengan kehambaan dalam kedudukan tertinggi :
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda ( kebesaran ) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. ( Q.S.Al.Israa : 1 )
\"Dan bahwasanya tatkala hamba Allah ( Muhammad ) berdiri menyembah-Nya ( mengerjakan ibadat ), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.\"
( Q.S.Al.Jin : 19 )
Kemanusiaan adalah letak sesungguhnya kemu’jizatan Rasulullah. Beliau adalah manusia dari jenis manusia namun berbeda dengan manusia biasa. Beliau memiliki perbedaan yang tidak mungkin dikejar atau disamakan dengan manusia biasa. Sebagaimana penilaian beliau tentang dirinya :
إنّي لست كهيئتكم إنّي أبيت عند ربي يطعمني و يسقيني
“Saya tidak sama dengan kalian. Sesungguhnya saya bermalam di sisi Allah diberi kekuatan sebagaimana orang yang makan dan minum”.
Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa status kemanusian beliau wajib disertai dengan sifat-sifat yang membedakannya dengan manusia umumnya yaitu menyebut keistimewaan-keistimewaan beliau yang eksklusif dan sifat-sifat beliau yang terpuji. Perlakuan ini bukan hanya diberikan khusus untuk Nabi Muhammad SAW namun juga berlaku untuk rasul-rasul yang lain agar penilaian kita kepada mereka proporsional. Karena penilaian kepada para rasul semata-mata dipandang dari sisi kemanusiaan saja tanpa penilaian lain adalah pandangan jahiliyah yang musyrik. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak dalil mengenai masalah ini. Diantaranya adalah :
- Ucapan kaum Nuh terhadap Nabi Nuh dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka yang Artinya :
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: \"Kami tidak melihat kamu, melainkan ( sebagai ) seorang manusia ( biasa ) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta\".(Hud : 27).
- Ucapan kaum Nabi Musa dan Harun terhadap mereka berdua dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka yang artinya :
Dan mereka berkata: \"Apakah ( patut ) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?\" ( Al-Mu’minun : 47 ).
- Ucapan kaum Tsamud kepada Nabi mereka Shalih dalam peristiwa yang diceritakan Allah tentang mereka yang artinya, : ( Asy-Syu’araa’ : 154 ).
Kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami; Maka datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang Termasuk orang-orang yang benar\".
- Ucapan Penduduk Aikah kepada Nabi mereka Syu’aib dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka yang artinya : ( Asy-Syu’araa; : 186 ).
185. Mereka berkata: \"Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir,
186. Dan kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti Kami, dan Sesungguhnya Kami yakin bahwa kamu benar-benar Termasuk orang-orang yang berdusta.
- Ucapan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW yang memandang beliau semata-mata sebagai manusia dalam kisah yang diceritakan Allah tentang mereka :
Dan mereka berkata: \"Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar ? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia? ( Q.S.Al.Furqaan : 7 )
Nabi telah menginformasikan status dirinya dengan benar akan sifat-sifat luhur dan hal-hal yang melampauai kebiasaan yang membuatnya berbeda dengan manusia lain.
- Sabda beliau dalam sebuah hadits shahih :
تنام عيناي ولا ينام قلبي
“Kedua mataku terpejam namun hatiku tetap terjaga”.
- إنّي أراكم من وراء ظهري كما أراكم من أمامي
“Saya mampu melihat kalian dari belakangku sebagaimana melihatmu dari depan”.
- أوتيت مفاتيح خزائن الأرض
“Saya dianugerahi pintu-pintu gudang dunia”.
Meskipun telah wafat, Rasulullah tetap hidup dalam bentuk kehidupan barzakh yang sempurna. Beliau mampu mendengar perkataan, membalas salam dan shalawat orang yang bershalawat sampai kepada beliau. Amal perbuatan ummat disampaikan kepada beliau hingga beliau berbahagia atas perbuatan orang-orang yang baik dan beristighfar terhadap orang-orang yang melakukan dosa. Allah juga mengharamkan bumi untuk memakan jasadnya. Jasad Nabi terlindungi dari hal-hal yang bersifat merusak dan dari apapun yang berada dalam tanah.
Dari Aus ibn Aus R.A , ia berkata , “Rasulullah SAW bersabda :
من أفضل أيامكم يوم الجمعة : فيه خلق آدم , وفيه قبض , وفيه النفخة , وفيه الصعقة ,
فأكثروا عليّ من الصلاة فيه , فان صلاتكم معروضة عليّ , قالوا : يارسول الله ! وكيف
تعرض صلاتنا عليك وقد أرمت يعني بليت ؟ فقال : إنّ الله عزّ وجلّ حرم على الأرض أن
تأكل أجساد الأنبياء .
“Salah satu hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at ; di hari itu Adam diciptakan dan wafat, Israfil meniup sangkakala dan matinya seluruh makhluk. Maka perbanyaklah bershalawat untukku pada hari Jum’at. Karena shalawat kalian disampaikan kepadaku”. Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami sampai kepadamu padahal tubuhmu telah hancur?” tanya para sahabat. “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” Jawab Rasulullah. ( HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ibn Hibban dalam kitab shahihnya serta Al-Hakim yang menilai hadits ini shahih ).
Menyangkut keutuhan jasad para Nabi , Al-Hafidh Jalaluddin As-Suyuthi menyusun sebuah risalah khusus menyangkut hal tersebut yang berjudul ‘Inbaa’ul Adzkiyaa’ bi Hayaatil Anbiyaa’.
Dari ibnu Mas’ud Rasulullah SAW bersabda :
حياتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , فإذا أنا مت كانت وفاتي خيرا لكم تعرض عليّ
أعمالكم فان رأيت خيرا حمدت لله وإن رأيت شرا استغفرت لكم
“ Hidupku lebih baik buat kalian. Kalian berbicara dan saya berbicara kepada kalian. Dan jika saya meninggal dunia maka kewafatanku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku melihat amal baik aku memuji Allah dan jika aku melihat amal buruk aku beristighfar buat kalian”. Kata Al-Haitsami , “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan standar perawi hadits shahih.
Dari Abi Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau berkata :
ما من أحد يسلم عليّ إلاّ ردّ الله عليّ روحي حتّى أرد عليه السلام . ( رواه أحمد وأبو داود )
“ Tidak ada seorangpun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan nyawaku hingga aku membalas salamnya”. HR. Ahmad dan Abu Dawud.
Sebagian ulama menafsirkannya dengan mengembalikan kemampuan berbicara beliau.
Dari ‘Ammar ibn Yaasir, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda :
إنّ الله وكل بقبري ملكا أعطاه الله أسماء الخلائق , فلا يصلّي عليّ أحد إلى يوم القيامة
إلاّ أبلغني باسمه واسم أبيه , هذا فلان بن فلان قد صلى عليك .
“Sesungguhnya Allah SWT mewakilkan seorang malaikat yang diberi Allah nama semua makhluk pada kuburanku. Maka tidak ada seorang pun hingga hari kiamat yang menyampaikan shalawat untukku kecuali malaikat itu menyampaikan kepadaku namanya dan nama ayahnya ; ini adalah si fulan anak si fulan yang telah menyampaikan shalawat untukmu”. HR. Al-Bazzaar dan Abu al-Syaikh ibn Hibban yang redaksinya : Rasulullah SAW bersabda :
إنّ الله تبارك وتعالى ملكا أعطاه الله أسماء الخلائق فهو قائم على قبري إذا مت , فليس أحد
يصليّ عليّ إلاّ قال : يا محمد ! صلى عليك فلان بن فلان , قال : فيصليّ الرب تبارك وتعالى
على ذلك الرجل بكل واحدة عشرا .
“Sesungguhnya ada malaikat Allah yang telah diberi semua nama makhluk oleh Allah. Ia berdiri di atas kuburanku jika aku meninggal. Maka tidak ada seorang pun yang menyampaikan shalawat kepadaku kecuali si malaikat berkata, “Wahai Muhammad ! fulan anak fulan telah menyampaikan shalawat untukmu”. Rasulullah berkata, “Rabb Tabaraka wa Ta’ala merahmatinya. Untuk satu shalawat dibalas 10 rahmat”. Dalam Al-Kabiir Al-Thabaraani meriwayatkan hadits seperti ini.
Meskipun Rasulullah SAW telah wafat namun keutamaan, kedudukan dan derajatnya di sisi Allah tetap abadi. Mereka yang beriman tidak akan ragu akan fakta ini. Karena itu, bertawassul kepada Nabi Muhammad SAW pada dasarnya kembali kepada keyakinan keberadaan hal-hal di muka dan meyakini beliau dicintai dan dimuliakan Allah serta keimanan kepada beliau dan kepada risalahnya. Dan tawassul bukanlah berarti beribadah kepada Nabi SAW. Karena beliau betapapun tinggi derajat dan kedudukannya tetaplah seorang makhluk yang tidak mampu menolak bahaya dan memberi manfaat tanpa izin Allah.
Allah SWT berfirman yang Artinya, :
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: \"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa\". ( Q.S.Al.Kahfi : 110 )
ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH
Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq. Mereka menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah. Diantara aspek-aspek di atas adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagian sifat-sifat ketuhanan.
Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah SWT bebas memberi siapa saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia mulyakan, Dia tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah SWT. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah.
Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal yang dalil yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah SWT memberikannya kepada Nabi SAW dan orang lain.
Berangkat dari penjelasan di atas, pensifatan Nabi SAW dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke derajat ketuhanan atau menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah SWT.Di antara aspek-aspek di atas adalah : Syafaat; syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman yang Artinya : Katakanlah: \"Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.\" ( Q.S.Az.Zumar : 44 )
Namun syafaat juga dimiliki oleh Rasul SAW dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah hadits : أنا أول شافع ومشفع\"Saya dikaruniai syafaat, dan Saya adalah orang pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya.\" Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik Allah.Katakanlah: \"tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah\".( Q.S.An.Naml : 65 )
Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib : 26. ( dia adalah Tuhan ) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga ( malaikat ) di muka dan di belakangnya. Hidayah; hidayah khusus milik Allah. Allah berfirman yang Artinya :Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.( Q.S.Al.Qashash : 56 )
Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi SAW juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :وإنك لتهدى إلى صراط مستقيم\"Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.\"( Q.S.Asy Syuura : 52 )
Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan \"Sesungguhnya engkau memberi hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan seperti hidayah-Ku.\"
Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadl hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Masalah ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah saat Allah berfirman yang Artinya :Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.dan Allah juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat. SWT
Sudah umum diketahui bahwa Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara Khaliq dan makhluk.
Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa juga mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat kemanusiaan.
Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun.
MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA
Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantaranya yang Artinya :Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka ( karenanya ).( Q.S.Al.Anfaal : 2 )Penyandaran kalimat ziyadah ke kalimat aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang menambah sesungguhnya adalah Allah SWT.\"hari yang menjadikan anak-anak beruban.\" ( Q.S.Al.Muzzammil :17 )
Penyandaran kata Ja’ala pada pada alyaum adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum adalah tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum sedang yang menjadikan sesungguhnya adalah Allah SWT. \"Dan jangan pula suwwa\`, yaghuts, ya\`uq dan nasr
. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan ( manusia ).\"( Q.S.Nuh : 23-24 )Penyandaran Idlal pada Ashnam adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah SWT semata. Firman Allah mengisahkan Fir’aun yang Artinya : \"Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi.\"( Q.S.Al-Mu\`min : 36 )
Penyandaran Al-Binaa kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman Cuma penyebab. Ia hanya pemberi perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja. Adapun keberadaaan majaz ‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajinya.
Para ulama berkata : Terlontarnya penyandaran di atas dari orang yang mengesakan Allah cukup menjadikannya dikategorikan sebagai penyandaran majazi karena keyakinan yang benar adalah bahwa pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata. Allah adalah pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah. Orang hidup atau orang mati tidak bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni. Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrikan.
URGENSI MENETAPKAN KAITAN ( NISBAT ) DALAM MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN IMAN
Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah yang Artinya : \"Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab.\" ( Q.S.Az.Zukhruuf : 3 )kelompok Qadariyyah (free will) yang menggunakan ayat yang Artinya :\"Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.\"( Q.S.As.Syuuraa : 20 )بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ \"Apa yang telah kamu kerjakan.\"( Q.S.Yunus : 23 )
Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat :وَالله ُخَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ\"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.\"( Q.S.Ash.Shaaffaat : 96 )وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلكِن الله رَمَى\"Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.\"( Q.S.Al.Anfaal : 17 )
Untuk menyingkap maksud dari firman Allah di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam diluar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah SWT berdasarkan ayatوالله خلقكم وما تعملونdan ayat وما رميت إذ رميت ولكن الله رمىmeskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab ( bekerja ) seperti dalam firman Allah :لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ\"Ia mendapat pahala ( dari kebajikan ) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa ( dari kejahatan ) yang dikerjakannya.\"( Q.S.Al.Baqarah : 286 )dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba.
Keterkaitan qudrah dengan almaqdur ( obyek dari sifat qudrah ) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrah Allah pada masa azali berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrah Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan lain.
ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA
\
Berangkat dari keterkaitan qudrah di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrah tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah yang menciptakan, mentakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah yang Artinya : \"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya.\" ( Q.S.Yusuf : 103 )
Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan musabbab ( Obyek yang terkena pengaruh sebab ) kepada sabab ( penyebab ) atau wasithah ( perantara ). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah pencipta washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah tidak memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia, atau jin.
PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH
Barangkali Anda berkata : Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaannya”. Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya.
Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian (musytarak /ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan : Pemimpin membunuh si fulan dan ungkapan : Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita : Allah adalah pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada dan ungkapan kita : Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan padanya kehendak dan pengetahuan.
Berarti hubungan qudrah dengan iradah serta gerakan dengan qudrah adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kategori mengaitkan yang disebabi atas yang menjadi penyebab.
Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrah sebagai Fa’il ( pelaku ) bagaimanapun bentuk kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat.
Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah SWT sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya sendiri.
Allah SWT berfirman yang Artinya : Katakanlah: \"Malaikat maut yang diserahi untuk ( mencabut nyawa )mu akan mematikanmu.\"( Q.S.As.Sajdah : 11 )\"Allah memegang jiwa ( seseorang ) ketika matinya.\" ( Q.S.Az.Zumar :42 )\"Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam.\" ( Q.S.Al.Waqi\`ah : 63 )dengan dinisbatkan kepada mereka : 25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), 26. Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, 27. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.( Q.S.\`Abasa : 25-27 ) \" Lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya ( dalam bentuk ) manusia yang sempurna.\"( Q.S.Maryam : 17 ) \" Lalu Kami tiupkan ke dalam ( tubuh )nya ruh dari Kami dan Kami jadikan Dia dan anaknya tanda ( kekuasaan Allah ) yang besar bagi semesta alam.\" ( Q.S.Al.Anbiyaa\` : 91 )Nafkh ( tiupan ) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah Jibril AS. Allah berfirman yang Artinya : \"Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.\" ( Q.S.Al.Qiyaamah : 18 ) padahal pembaca Al-Qur’an yang didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad SAW adalah Jibril.
Allah berfirman yang Artinya : \" Maka ( yang sebenarnya ) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.\" ( Q.S.Al.Anfaal : 17 )Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diri-Nya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diri-Nya.
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti berbeda.
Kadangkala Allah menisbatkan tindakan kepada diri-Nya dan Nabi Muhammad secara bersamaan sebagaimana firman Allah yang Artinya : \"Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: \"Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian ( pula ) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,\" ( tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka ).\"( Q.S.At.Taubah : 59 ) ‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa Allah SWT jika berkehendak menciptakan janin maka Allah mengutus malaikat.
Lalu malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan tangannya kemudian membentuknya sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku, laki-laki atau perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat ?”. Lalu Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat pun membentuknya.
Dalam versi lain : malaikat membentuk janin dan meniupkan nyawa padanya sebagai janin yang mendapat bahagia atau celaka. Jika Anda memahami keterangan di atas maka jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak kontradiktif. Karena itu tindakan adakalanya disandarkan kepada benda mati seperti dalam firman Allah yang Artinya : \"Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya.\"( Q.S.Ibrahim : 25 ) pohon tidak bisa memberikan buah dengan sendirinya.
Sebagaimana halnya sabda Nabi kepada orang yang memberikan beliau sebuah kurma : خُذْهَا لَوْ لَمْ تَأْتِهَا لَأَتَتْكَ ...\"Ambillah kurma itu. Jika engkau tidak mendatanginya maka kurma itu akan datang kepadamu ....\"Sebagaimana tertera dalam riwayat Thabarani dan Ibnu Hibban. Penyandaran kata Ityan (datang) berbeda pengertian antara yang disandarkan kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari datangnya kurma berbeda dengan datangnya laki-laki.
Pengertian datang dari keduanya adalah dua majaz yang berbeda sudut pandangnya. Kemajazan penyebutan kedatangan kepada laki-laki bermakna bahwa Allah menciptakan padanya kemampuan dan kehendak untuk datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa Allah akan membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma.
Yang sesungguhnya adalah menyandarkan mendatangkan kepada Allah pada keduanya. Karena perbedaan sudut pandang dalam perantara maka memandang perantara dalam tindakan terkadang bisa mengakibatkan kekufuran sebagaimana jawaban Qarun terhadap Nabi Musa AS yang Artinya : Qarun berkata: \"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.\"( Q.S.Al.Qashash : 78 )Dan sebagaimana dalam hadits : أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر , فأما من قال : مطرنا بفضل الله ورحمته فذالك مؤمن بي كافر بالكوكب , وأما من قال : مطرنا بنوء كذا وكذا فذالك كافر بي مؤمن بالكوكب. \"Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir.
Adapun yang berkata : Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang. Sebaliknya orang yang berkata : kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang. Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan. Imam al-Nawawi berkata : pendapat para Ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan : Kami disirami hujan berkat bintang ini.
Pendapat pertama : menyatakan bahwa perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah dan mencabut dasar keimanan serta dapat mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa bintang adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaimana anggapan sebagian kaum jahiliyyah.
Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka tidak disangsikan lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama diantaranya Imam Asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena itu, dalam pandangan mereka seandainya mengatakan : kami disirami hujan berkat bintang ini dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan berkat rahmat Allah SWT sedang bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri berdasarkan kebiasaan maka seolah-olah ia mengatakan : kami disirami hujan pada waktu bintang ini, berarti ia tidak kufur.
Para ulama berbeda pendapat menyangkut kemakruhan perkataan : kami disirami hujan berkat bintang ini. Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur dan tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia adalah lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
Pendapat kedua : Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada yang kufur.
Dalam riwayat lain ; Allah tidak menurunkan berkah dari langit kecuali sebagian manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata بها ( terhadap berkah itu ) menunjukkan kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu A’lam. Anda bisa melihat bahwa Imam An-Nawawi menyatakan adanya konsensus ulama bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur kecuali disertai keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur dan pencipta.
Namun jika perantara tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah ciri atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda Nabi : من أسدى إليكم معروفا فكافئوه فان لم تستطيعوا فادعوا له حتى تعلموا أنكم قد كافأتموه \"Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas kebaikannya.\"
Dan sabda Nabi yang lain : من لم يشكر الناس لم يشكر الله\"Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah.\"Ajakan syara’ ini berdasarkan pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut pandang demikian tidak berarti meniadakan anugerah dari Allah. Banyak ayat dimana Allah SWT memberikan pujian atas perbuatan baik para hamba-Nya dan malah memberi mereka pahala atas perbuatan tersebut. Allah adalah Dzat yuang mendorong mereka berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah berfirman yang Artinya :\"Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat ( kepada Tuhannya ).\"( Q.S.Shaad : 30 )\"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik ( surga ) dan tambahannya.\"( Q.S.Yunus :26 )\"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu\"( Q.S.Asy.Syams : 9 )Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’l) dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makna tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih.Makna-makna yang terkandung dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan hati lebih luas dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz dalam arti hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompromikan antara teks-teks atau membedakannya. Silahkan Anda perhatikan informasi yang disampaikan Allah tentang Nabi Ibrahim AS dalam : رب إنهن أضللن كثيرا من الناس . apakah Anda menilai Nabi Ibrahim menyekutukan Allah dengan benda mati ? Padahal beliaulah yang bertanya : أتعبدون ما تنحتون والله خلقكم وما تعملون .
Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang menyekutukan Allah dengan yang lain dalam segi penciptaan dan memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati atau manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa yang meyakini adanya penyebab dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak kemudian menjadikan Allah sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan bahwa pelakunya ( al-fa’il ) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab dianggap sebagai sebab. Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang menciptakan sebab yang notabene adalah Sang Pencipta dan Pengatur SWT.
MENGAGUNGKAN ANTARA IBADAH DAN ETIKA
Banyak orang keliru dalam memahami substansi pengagungan dan ibadah. Mereka mencampur kedua substansi ini dan menganggap bahwa apapun bentuk pengagungan berarti ibadah kepada yang diagungkan. Berdiri, mencium tangan, mengagungkan Nabi SAW dengan sayyidina dan maulanaa, dan berdiri di depan beliau saat berziarah dengan sopan santun; semua ini tindakan berlebihan di mata mereka yang bisa mengarah kepada penyembahan selain Allah.
Pandangan ini sesungguhnya adalah pandangan bodoh dan membingungkan yang tidak diridloi Allah dan Rasulullah SAW serta menyusahkan diri sendiri yang tidak sesuai dengan spirit syari’ah islamiyyah. Nabi Adam AS, manusia pertama dan hamba Allah yang shalih yang pertama dari jenis manusia, oleh Allah malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya sebagai bentuk penghargaan dan pengagungan atas ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada Nabi Adam dan sebagai proklamasi kepada para malaikat atas dipilihnya Nabi Adam bukan para makhluk lain. Allah berfirman yang Artinya :61. Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada Para Malaikat: \"Sujudlah kamu semua kepada Adam\", lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: \"Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?\"62. Dia (iblis) berkata: \"Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil\"
.Dalam ayat lain Allah berfirman yang Artinya :Menjawab iblis \"Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah.\" ( Q.S.Al.A\`raaf : 12 )\"Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama, Kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama ( malaikat ) yang sujud itu.\" ( Q.S.Al.Hijr : 30-31 )Para malaikat mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah dan iblis menolak untuk sujud kepada makhluk yang tercipta dari tanah. Iblis adalah yang pertama kali menggunakan analogi dengan akalnya dan berkata : saya lebih baik dari Adam, dengan alasan karena ia tercipta dari api sedang Adam dari tanah. Ia enggan menghormati Adam dan menolak bersujud kepadanya.
Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah. akhirnya ia dijauhkan dari rahmat Allah karena keangkuhannya pada Adam yang shalih. Sikap iblis pada dasarnya adalah keangkuhan kepada Allah karena sujud kepada Adam semata-mata atas perintah Allah. Sujud kepada Adam hanyalah sebagai bentuk penghormatan kepadanya atas para malaikat. Iblis adalah makhluk yang mengesakan Allah namun ketauhidannya tidak berguna sama sekali akibat menolak bersujud kepada Adam.
Salah satu firman Allah yang menjelaskan pengagungan terhadap orang-orang sholih adalah firman Allah menyangkut Nabi Yusuf AS yang Artinya : \"Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka ( semuanya ) merebahkan diri seraya sujud.\" ( Q.S.Yusuf : 100 )Sujud ini adalah sujud sebagai ungkapan penghargaan dan pemuliaan terhadap Yusuf atas saudara-saudaranya.
Sujud menyentuh tanah yang dilakukan saudara-saudara Yusuf ditunjukkan oleh kalimat وخروا barangkali dalam syari’at saudara-saudara Yusuf sujud dalam bentuk seperti ini diperbolehkan atau seperti sujud para malaikat kepada Adam untuk memuliakan, mengagungkan, dan mematuhi perintah Allah sebagai penafsiran terhadap mimpi Yusuf dimana mimpi para Nabi berstatus wahyu.
Adapun Nabi Muhammad SAW maka Allah SWT telah berfirman yang Artinya : \"8. Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,9. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.\" 1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.3. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.4. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. 63. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian ( yang lain ).
Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung ( kepada kawannya ), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
Ketika berhadapan dengan Rasulullah, Allah SWT melarang berbicara mendahului beliau dan bersikap tidak sopan dengan mendahului berbicara. Sahl ibn ‘Abdillah berkata,\" Janganlah kamu berkata sebelum Rasulullah berkata, dan jika beliau berkata maka dengarkanlah dan perhatikanlah.\" Para sahabat dilarang untuk mendahului dan tergesa-gesa memenuhi keinginannya sebelum keinginan Rasulullah terpenuhi dan dilarang mengeluarkan fatwa apapun baik perang atau urusan lain yang menyangkut agama tanpa perintah Nabi dan juga tidak boleh mendahului beliau.
Kemudian Allah memperingatkan mereka untuk tidak melanggar larangan di atas : واتقوا الله إن الله سميع عليم\"Dan bertaqwalah kepada Allah,sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.\" ( Q.S.Al.Hujuraat :1 )Berkata As-Silmi : takutlah kepada Allah, jangan sampai menelantarkan hak Allah dan menyia-nyiakan hal-hal yang diharamkan-Nya karena Dia mendengar ucapan kalian dan mengetahui tindakan kalian.
Selanjutnya Allah melarang mengeraskan suara melebihi suara beliau dan berbicara keras kepada beliau sebagaimana mereka berbicara kepada sesamanya. Versi lain mengatakan, sebagaimana kalian saling memanggil dengan menggunakan nama. Abu Muhammad Makki mengatakan : janganlah kalian berkata sebelum beliau, mengeraskan ucapan dan memanggi beliau dengan namanya sebagaimana panggilan kalian dengan sesamanya.
Tapi agungkanlah dan hormatilah dan panggillah beliau dengan panggilan paling mulia yang beliau senang dengan panggilan tersebut yaitu Wahai Rasulullah dan wahai Nabiyyallah. Pandangan Abu Muhammad Makki ini sebagaimana firman Allah yang Artinya : \"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian ( yang lain ).
Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung ( kepada kawannya ),maka hendak-lah orang-orang yang menyalahi peritah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.\" ( Q.S.An.Nuur : 63 )
Ulama lain menafsirkan : Jangan berkata kepada beliau kecuali bertanya. Selanjutnya Allah memperingatkan bahwa amal perbuatan mereka akan hangus jika melanggar larangan di muka. Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika sekelompok orang datang kepada Nabi dan memanggil beliau dengan : Wahai Muhammad, keluarlah untuk menemui kami. Lalu Allah pun mengecam tindakan mereka sebagai kebodohan dan menggambarkan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal. ‘Amr ibn ‘Ash berkata, “Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah SAW dan dimataku tidak ada yang lebih agung melebihi beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya untuk mensifati beliau saya tidak akan mampu menjawab sebab saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar. HR Muslim dalam Kitabul Iman, bab Kaunul Islam Yahdimu Maa Qablahu. Turmudzi meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW keluar menemui sahabat Muhajirin dan Anshor yang sedang duduk.
Di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar. Tidak ada yang berani memandang beliau dengan wajah terangkat kecuali Abu Bakar dan Umar. Keduanya memandang beliau dan beliau memandang keduanya dan mereka berdua tersenyum kepada beliau dan beliau juga tersenyum kepada mereka. Usamah ibn Syuraik meriwayatkan : Saya datang kepada Nabi SAW yang dikelilingi para sahabat yang seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung.
Dalam mensifati beliau : Jika berbicara para pendengar yang duduk di sekeliling beliau akan menundukkan kepala seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Saat ‘Urwah ibn Mas’ud menjadi duta Qurays waktu mengadakan perjanjian datang kepada Rasulullah dan melihat penghormatan para sahabat kepada beliau. Ia melihat jika beliau berwudlu maka mereka akan segera berebutan mengambil air wudlu.
Bila beliau meludah atau membuang dahak maka mereka akan meraihnya dengan telapak tangan mereka lalu digosokkan pada wajah dan badan mereka. Kalau ada sehelai rambut beliau yang jatuh mereka segera mengambilnya. Jika Beliau memberi instruksi mereka segera mengerjakanya.
Bila Beliau berbicara mereka merendahkan suara mereka. Mereka tidak berani memandang tajam Beliau, karena menghormatinya. Ketika Usamah bin Syuraik kembali kepada kaum quraisy ia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy saya pernah mendatangi Kisro dan kaisar di istana mereka, Demi Allah saya belum pernah sekalipun melihat raja bersama kaumnya sebagaimana Muhammad bersama para sahabatnya.
Dalam riwayat lain disebutkan : Saya belum pernah sekalipun melihat raja yang dihormati pengikutnya sebagaimana para sahabat menghormati Nabi. Sungguh saya telah melihat kaum yang tidak akan membiarkan Beliau dalam bahaya selamanya. At-Thabarani dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik bahwasanya ia berkata; “Kami sedang duduk-duduk disamping Nabi seolah-seolah diatas kepala kami hinggap burung “.
Tidak ada seorangpun diantara kami yang berbicara tiba-tiba datang beberapa orang pada Nabi lalu mereka bertanya ; “ Siapakah hamba Allah yang paling dicintainya? “Yang paling baik budi pekertinya “Jawab Nabi. Demikian tercantum dalam At-Targhib:2/187.Imam Al-Mundziri berkata, Hadits ini diriwayatkan oleh At Thabarani dalam As Shahih dengan para perawi yang bisa dijadikan argumentasi. Abu Ya’la meriwayatkan dari Al-Barra’ ibn ‘Azib dan menilainya shahih bahwa Al-Barra’ mengatakan, “Sungguh aku ingin sekali menanyakan sesuatu kepada Rasulullah namun aku menundanya selama dua tahun semata-mata karena segan”.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Zuhri bahwa ia berkata, “Mengkhabarkan kepada saya seorang Anshor yang tidak saya ragukan bahwa Rasulullah SAW jika berwudlu atau mengeluarkan dahak maka para sahabat berebutan mengambil dahak beliau kemudian diusapkan pada wajah dan kulit mereka. “Mengapa kalian berbuat demikian,? Tanya Rasulullah. “Kami mencari berkah darinya.” “Barangsiapa yang ingin dicintai Allah dan Rasul-Nya maka berkatalah jujur, menyampaikan amanah dan tidak menyakiti tetangganya.” Demikian keterangan dalam Al-Kanzu : 8/228.
Walhasil, dalam hal ini ada dua persoalan besar yang harus dimengerti. Pertama; kewajiban menghargai Nabi SAW dan meninggikan derajat beliau di atas semua makhluk. Kedua; mengesakan Tuhan dan menyakini bahwa Allah SWT berbeda dari semua makhluk-Nya dalam aspek dzat, sifat dan tindakan.
Barangsiapa yang meyakini adanya kesamaan makhluk dengan Allah dalam aspek ini maka ia telah menyekutukan Allah sebagaimana kaum musyrikin yang meyakini ketuhanan dan penyembahan terhadap berhala. Dan siapapun yang merendahkan Nabi SAW dari kedudukan semestinya maka ia berdosa atau kafir.
Adapun orang menghormati Nabi dengan beragam penghormatan yang berlebihan namun tidak mensifati beliau dengan sifat-sifat Allah apapun maka ia telah berada di jalan yang benar dan secara bersamaan telah menjaga aspek ketuhanan dan kerasulan. Sikap semacam ini adalah sikap yang ideal. Apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin penyandaran sesuatu kepada selain Allah maka wajib dipahami sebagai majaz ‘aqli. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya karena majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
PERANTARA SYIRIK
Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara ( wasithah ). Mereka memvonis dengan gegabah bahwa perantara adalah tindakan musyrik dan menganggap bahwa siapapun yang menggunakan perantara dengan cara apapun telah menyekutukan Allah dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang musyrik yang mengatakan yang Artinya : \"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.\" ( Q.S.Az.Zumar : 3 ) Kesimpulan ini jelas salah dan berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya.
Karena ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang musyrik menyangkut penyembahan mereka terhadap berhala dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan anggapan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala mendekatkan mereka kepada Allah. Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum mussyrikin adalah dari aspek penyembahan mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-tuhan di luar Allah SWT. Di sini ada masalah yang urgen untuk dijelaskan.
Yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai yang digambarkan Allah, tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang membenarkan penyembahan berhala : ( Kami tidak menyembah mereka kecuali semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah ). Jika ucapan kaum musyrikin tersebut sungguh-sungguh niscaya Allah lebih agung daripada berhala dan mereka tidak akan menyembah selain-Nya.
Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki berhala-berhala kaum musyrikin, lewat firman-Nya yang Artinya : 108. \"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.\" ( Q.S.Al.An\`aam : 108 )Abdurrazaq, Abd ibn Hamid, ibn Jarir, ibnul Mundzir, ibn Abi Hatim dan Abu al-Syaikh meriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasulullah berkata, “Awalnya Kaum muslimin memaki berhala-berhala orang kafir. Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat yang Artinya : 108. \"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.\" ( Q.S.Al.An\`aam : 108 )
Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Berarti ayat tersebut melarang dengan keras kaum mu’minin untuk melontarkan kalimat yang bernada merendahkan terhadap batu-batu yang disembah oleh kaum paganis di Makkah.
Karena melontarkan kalimat seperti itu mengakibatkan kemurkaan kaum paganis karena membela bebatuan yang mereka yakini dari lubuk hati paling dalam sebagai tuhan yang memberi manfaat dan menolak bahaya. Jika mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin, Allah SWT dan melecehkan-Nya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari segala kekurangan. Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembahan kepada berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah niscaya mereka tidak akan berani memaki Allah untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuhan mereka.
Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaaan Allah dalam hati mereka jauh lebih sedikit dari pada keberadaaan bebatuan yang disembah. Ayat lain yang menunjukkan ketidakjujuran orang kafir adalah :25. \"Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: \"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?\" tentu mereka akan menjawab: \"Allah\". Katakanlah : \"Segala puji bagi Allah\"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.\" ( Q.S.Luqman : 25 )
Bila orang-orang kafir meyakini dengan jujur bahwa hanya Allah sang Pencipta dan bahwa berhala-berhala itu tidak mampu menciptakan apa-apa niscaya mereka akan menyembah Allah semata, tidak menyembah berhala atau minimal penghormatan mereka terhadap Allah melebihi penghormatan kepada patung-patung dari batu tersebut. Apakah jawaban mereka dalam ayat ini relevan dengan makian mereka terhadap Allah sebagai bentuk pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan pelampiasan dendam terhadap Allah SWT? Secara spontan kita akan menjawab sampai kapanpun hal ini tidak relevan. Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat yang menunjukkan bahwa di mata mereka Allah lebih rendah dari patung-patung yang mereka sembah.
Banyak ayat senada seperti :136. \"Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: \"Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami\". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.\" ( Q.S.Al.An\`aam : 136 )
Seandainya di mata mereka Allah tidak lebih rendah dibanding patung-patung tersebut maka mereka tidak akan mengunggulkannya dalam bentuk seperti yang diceritakan ayat ini dan tidak layak mendapat vonis ساء ما يحكمون.Salah satu ungkapan yang masuk kategori di atas adalah perkataan Abu Sufyan sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau wahai Hubal !”sebagaimana riwayat Al-Bukhari.
Pujian ini dialamatkan kepada berhala mereka yang bernama Hubal agar dalam kondisi kritis mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta agar ia dan pasukannya mampu mengalahkan tentara mukmin yang hendak menghancurkan berhala-berhala mereka. Ini adalah gambaran dari sikap orang musyrik menyangkut berhala dan Allah SWT.
Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi yang sesuai dengan pemahamannya.
Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat ? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek penyembahan. Mencium Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah dan mengikuti Nabi SAW. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah berhala. Perantara ( mediator / wasithah ) adalah sesuatu yang harus ada.
Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk kemusyrikan. Tidak semua orang yang menggunakan mediator antara dirinya dan Allah dipandang musyrik. Jika semua dianggap musyrik niscaya semua orang dikategorikan musyrik karena segala urusan mereka didasarkan atas eksistensi mediator. Nabi Muhammad SAW menerima Al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah mediator beliau.
Sedang Nabi SAW adalah mediator besar bagi para sahabat. Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukannya kepada beliau dan menjadikannya sebagai mediator menuju Allah. Mereka memohon do’a kepada beliau dan beliau tidak menjawab, “Kalian telah musyrik dan kafir karena tidak boleh mengadu dan memohon kepada saya. Kalian harus datang, berdoa dan memohon sendiri karena Allah lebih dekat dengan kalian dari pada saya”.
Nabi tidak pernah berkata demikian. Beliau malah berdiam dan dan memohon pada saat di mana mereka mengatahui bahwa pemberi sejati adalah Allah dan yang mencegah, melimpahkan dan pemberi rizqi juga Allah. Mereka juga tahu bahwa beliau SAW memberi atas izin dan karunia Allah.
Beliaulah yang mengatakan,”Saya adalah pembagi dan Allah pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperbolehkan menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.
Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW yang notabene junjungan mulia, Nabi agung, makhluk termulia dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah paling utama secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda :من فرج عن مؤمن كربة من كرب الدنيا فرّج الله عنه كربة من كرب يوم القيامة” Barangsiapa membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min di dunia, maka Allah akan melepaskannya dari kesusahan pada hari kiamat.\" sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Maka orang mu’min adalah orang yang mengatasi segala kesulitan.
Bukankah beliau bersabda :من قضي لأخيه حاجة كنت واقفا عند ميزانه فان رجح وإلا شفعت له ؟ فالمؤمن قاض للحاجات\"Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka saya akan berdiri di dekat timbangan amalnya. Jika timbangan amal baik itu lebih berat maka akubiarkan, jika tidak maka aku akan memberinya syafaat ? Maka orang mu’min adalah orang yang mencukupi segala kebutuhan.\" من ستر مسلما ستر الله له ( الحديث )\"Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya.\"إن لله عز وجل خلقا يفزع إليهم في الحوائج \"Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang didatangi banyak orang untuk memenuhi kebutuhan mereka.\"والله في عون العبد مادام العبد في عون أخيه\"Allah senantiasa membantu hamba-Nya sepanjang ia membantu saudaranya.\" من أغاث ملهوفا كتب الله له ثلاثا وتسعين حسنة\"Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan menulis baginya 93 kebaikan.\" ( HR. Abu Ya’la , Al-Bazzar dan Al-Baihaqi. )
Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi, membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun sesungguhnya pelaku sejatinya adalah Allah SWT. Namun berhubung ia adalah mediator dalam menangani masalah-masalah tersebut maka sah menisbatkan tindakan-tindakan tersebut kepadanya.
Dalam koleksi hadits-hadits Rasulullah SAW terdapat banyak hadits yang menjelaskan bahwa Allah SWT menghindarkan siksaan dari penduduk bumi berkat orang-orang yang beristighfar dan mereka yang rajin menghidupkan masjid dan Dia juga memberi rizqi, menolong dan menjauhkan musibah dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka. At-Thabarani dalam Al-Kabir dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan meriwayatkan dari Mani’ Ad-Dailami RA bahwa ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : لو لا عباد لله ركع وصبية رضع وبهائم رتع لصب عليكم العذاب صبا ثم رضّ رضا“Jikalau tiada para hamba Allah yang sholat, para bayi yang menyusui dan binatang yang merumput niscaya adzab akan diturunkan dan orang-orang yang terkena adzab itu akan dihancurkan”.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn Abi Waqqash RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :هل تنصرون وترزقون إلا بضعفائكم”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki hanya karena orang-orang lemah kalian”.At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dikategorikan shahih oleh Al-Hakim dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda :لعلك ترزق به”Barangkali kamu mendapat rizqi berkat saudaramu”.
Dari Abdullah ibn Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : إن الله عز وجل خلقا خلقهم لحوائج الناس يفزع إليهم الناس في حوائجهم أولئك الآمنون من عذاب الله تعالى ( رواه البراني في الكبير وأبو نعيم والقضاعي وهو حسن )”Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Orang-orang datang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka dalah orang-orang yang aman dari adzab Allah”.( HR. Thabarani dalam Al-Kabiir, Abu Nu’aim dan Al-Qudlo’i dengan status Hasan. ) Dari Abdillah ibn Umar RA bahwa Rasulullah bersabda : إن الله ليصلح بصلاح الرجل المسلم ولده وولد ولده وأهل دويرته ودويرات حوله ولا يزالون في حفظ الله عز وجل مادام فيهم”Sesungguhnya Allah SWT, sebab keshalihan seorang laki-laki muslim akan membuat anak, cucu, warga desanya dan desa-desa sekitarnya menjadi shalih dan mereka senantiasa berada dalam lindungan Allah sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama mereka”.
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam tafsirnya : 2/341 dan An-Nasa’i dalam Al-Mawaa’idz dari As-Sunan Al-Kubraa sebagaimana keterangan dalam At-Tuhfah : 13/380. Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Shahih Al-Bukhari dan Al-Muslim selain guru An-Nasaa’i yang dikategorikan tsiqah dan WAFIIHI KALAAMUN.
Dari Ibnu ‘Umar RA berkata : Rasulullah SAW bersabda :إن الله ليدفع بالمسلم الصالح عن مائة أهل بيت من جيرانه بلاء”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki shalih, seratus keluarga dari tetangganya,”. Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah yang Artinya : Seandainya Allah tidak menolak ( keganasan ) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia ( yang dicurahkan ) atas semesta alam. HR. Thabrani.
Dari Tsauban seraya memarfu’kan hadits berkata :لا يزال فيكم سبعة بهم تنصرون وبهم تمطرون وبهم ترزقون حتى يأتي أمرالله”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang wali di mana berkat mereka kalian diberi pertolongan, hujan dan rizki sampai tiba hari kiamat”.Dari ‘Ubadah ibn Shamit RA berkata : Rasulullah SAW bersabda :الأبدال في أمتي ثلاثون , بهم ترزقون وبهم تمطرون وبهم تنصرون ”Wali badal ( Abdaal ) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian diberi hujan dan mendapat pertolongan”.
Qatadah berkata :إني لأرجو أن يكون الحسن منهم”Sungguh saya berharap Hasan Al-Bashri termasuk mereka”. HR. Thabrani. Empat hadits di atas disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat yang Artinya : \"Seandainya Allah tidak menolak ( keganasan ) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia ( yang dicurahkan ) atas semesta alam.\" ( Q.S.Al.Baqarah : 251 )Ayat ini layak dijadikan argumen dan dari keempatnya status hadits menjadi shahih.
Dari Anas, berkata : Rasulullah SAW bersabda : لن تخلو الأرض من أربعين رجلا مثل خليل الرحمن , فبهم تسقون وبهم تنصرون ما مات منهم أحد إلا أبدل الله مكانه اخر.( رواه الطبراني في الأوسط واسناده حسن )”Bumi tidak akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman Ibrahim AS. Berkat mereka kalian disirami hujan dan diberi pertolongan. Jika salah seorang meninggal maka Allah akan menggantinya dengan orang lain.” HR. Thabarani dalam Al-Awsath dan isnad isnad hadits ini hasan. Majma’uz Zawaaid : 2/62.
MEDIATOR PALING AGUNG
Dalam hari mahsyar yang notabene hari tauhid, hari iman dan hari dimana ‘Arsy dimunculkan, akan tampak keutamaan mediator paling agung, pemilik panji ( Alliwaa’ al-Ma’qud ), kedudukan terpuji, telaga yang didatangi, pemberi syafaa’t yang diterima syafa’atnya dan tidak sia-sia jaminannya untuk orang yang Allah telah berjanji kepada beliau bahwa Allah tidak akan mengecewakan anggapan beliau, tidak akan menghina beliau selamanya, tidak membuat beliau susah serta malu saat para makhluk datang kepada beliau memohon syafaat. Lalu beliau berdiri kemudian tidak kembali kecuali mendapat baju kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar dalam perintah Allah kepada beliau : يا محمد , ارفع رأسك واشفع تشفع وسل تعط“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berilah syafa’at maka syafa’atmu akan diterima dan mohonlah maka kamu akan diberi !”.
BAJU KEPALSUAN
Mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan dan kekanak-kanakkan banyak jumlahnya. Namun sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa dan tidak layak dianggap memahaminya.وكل يدعى وصلا بليلى وليلى لا تقر لهم بذكاSemua mengaku punya hubungan kasih dengan LailaTapi Laila menampik pengakuan merekaFakta menyedihkan ini ditambah lagi dengan sikap mereka yang mencoreng diri sendiri dan merusak reputasi. Sikap mereka tepat dengan apa yang digambarkan secara detail dalam sebuah hadits : المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبى زور\"Orang yang berpura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak bisa membuat kenyang laksana orang yang mengenakan dua baju kebohongan\".
Kita, umat Islam mendapat cobaan dengan banyaknya orang-orang seperti di atas. Mereka mengeruhkan kedamaian umat, memecah belah antar kelompok dan menbangkitkan konflik antar sesama saudara dan anak dengan ayahnya.Mereka berusaha meluruskan persepsi-persepsi Islam lewat pintu pendurhakaan terhadap ulama, dan berpegang teguh dengan ajaran-ajaran salaf dengan jalan pengingkaran, dan mengganti kebajikan, tutur kata yang baik dan belas kasih dengan sikap keras, membatu, etika yang buruk dan minimnya simpati.
Diantara para pengklaim adalah mereka yang menganggap mengikuti jalan tasawwuf padahal mereka adalah orang yang paling jauh dari substansi dan essensi tasawwuf. Mereka menodai tasawwuf, mengotori kemuliaanya, merusak ajaranya dan melontarkan kritik pedas terhadap tasawwuf dan para imamnya dari para ahli ma’rifat dan para guru pembimbing.Kami tidak mengenal tahayyul, kebatilan, kebohongan dan tipuan dalam tasawwuf.
Kami juga tidak mengenal teori-teori filsafat, ide-ide luar atau aqidah-aqidah musyrik baik sinkretisme atau manunggaling kawula gusti. Kami lepas tangan kepada Allah dari muatan-muatan sesat tasawwuf dan mengkategorikan semua pandangan yang berlawanan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak bisa dita’wil adalah kebohongan yang menyusup dan ditambahkan oleh tangan-tangan jahil dan jiwa-jiwa yang lemah.
Dengan perilaku yang baik dan budi pekerti yang bersih tampaklah kepahlawanan generasi awal, para tokoh, para imam dan para pahlawannya. Dan tampak di hadapan kita sosok Islam yang paling cemerlang, sempurna, dan contoh paling luhur dan suci. Sejarah telah menginformasikan kepada kita cerita kemuliaan, kebanggaan, kehormatan, keagungan, jihad, perjuangan, dan pelajaran-pelajaran tentang peradaban Islam.
Berangkat dari fakta di muka kami meyakini bahwa kebangkitan-kebangkitan besar tidak akan terbangun kecuali di atas risalah-risalah spiritual dan inspirasi-inspirasi iman dan tidak akan berdiri kecuali di atas etika-etika luhur yang kokoh yang model-modelnya digali dari akidah-akidah suci.
Sesungguhnya sifat-sifat etik, psikologis dan spiritual adalah modal dasar bangsa. Ketiga faktor ini adalah asset-asset besar yang membentuk ummat dan mengantarkan umat manusia menuju cita-cita luhur. Orang yang mengkaji sejarah hidup generasi salaf shalih dan tokoh-tokoh sufi di tengah masyarakat, akan melihat bagaimana contoh-contoh ideal dan prinsip-prinsip ini bisa menjadi faktor langsung terjadinya revolusi-revolusi yang nyata, tercatat dan populer dalam sejarah Islam.
Mereka tidak memiliki pengaruh dan kekuatan kecuali iman dalam tatarannya yang paling tinggi. Iman yang panas, berkobar-kobar, dan hidup yang berlandaskan kerinduan dan kecintaan kepada Allah. Sebuah keimanan yang mampu menyalakan api yang menyala-nyala dan menatap selamanya kepada Allah dalam hati para pengikutnya.
Orang yang mengkaji juga akan melihat bagaimana di tengah mereka seorang laki-laki bisa hidup dalam maqam al-ihsan ( kondisi dimana seseorang merasakan kehadiran Allah ), ia melihat Allah dalam segala sesuatu, dan merasa takut kepada-Nya dalam segala aktivitasnya. Ia senantiasa merasa takut kepada Allah dalam setiap tarikan nafasnya tanpa meyakini adanya penitisan, bersatunya Tuhan dengannya, dan peniadaan eksistensi Tuhan. Iman ini adalah iman yang membangunkan kesadaran holistik dalam kehidupan, menyentak rasa yang dalam akan ketuhanan yang berjalan dalam alam semesta, dan yang hidup dalam sudut-sudut paling dasar dari alam semesta, yang mengetahui apa-apa yang terlintas di hati, bisikan-bisikan rahasia, mata yang mencuri pandang dan apa yang disembunyikan dalam hati.
ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA
Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan tolol, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syari’ah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa : sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk.
Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam. Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin seperti Al-Imam Al-‘Izz ibn ‘Abdissalaam, Al-Nawaawi, Al-Suyuuthi, Al-Mahalli dan Ibnu Hajar.Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari samudera syari’ah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks Al-Qur’an dan hadits yang mengikat.Salah satu contoh dari hadits-hadits di muka adalah hadits :كل بدعة ضلالة\"Setiap bid’ah itu sesat.\"Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah ( bid’ah tercela ) yang tidak termasuk dalam naungan dalil syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti :لاصلاة لجار المسجد إلا في المسجد\"Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid.\"Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, disamping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.
Seperti hadits :لاصلاة بحضرة الطعامTidak ada sholat di hadapan makanan Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak sempurna. لايؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسهTidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.والله لايؤمن والله لايؤمن والله لايؤمن ، قيل : من يا رسول الله ؟ قال : من لم يأمن جاره بوائقه . Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa terganggu dengannya”.
Para ulama menafsirkan dengan tidak adanya iman yang sempurna.لايدخل الجنة قتات .......... ، لايدخل الجنة قاطع رحم وعاق لوالديه Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk sorga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk sorga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan.Walhasil, para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.
Hadits di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum. Dalam sebuah hadits dijelaskan : من سنّ سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة\"Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat.\"عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين\"Berpegamg teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafat.\"‘Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai sholat tarawih : sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam).
PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH
Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat.
Karena itu Anda akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya.
Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) bid’ah diniyah ( keagamaan ) 2) bid’ah duniawiyyah ( keduniaan ). Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang ?
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya. Rasulullah SAW sebagai Syari’ bersabda, “Setiap bid’ah itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian ; diniyyah yang sesat dan duniawiyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa. Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas, insya Allah.
Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah.
Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi SAW : من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد\"Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak.\"Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “ في أمرنا هذا ”. Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.
Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial.
Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, – ini adalah pendapat yang benar – dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail.
Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul. Semoga Allah meridloi para aimmatul ushul dan meridloi kajian mereka terhadap lafadh-lafadh yang shahih dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau interpretasi.
AJAKAN PARA AIMMATUTTASHAWWUF UNTUK MENGAPLIKASIKAN SYARIAH
Tashawwuf, obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa ? Karena ia seorang sufi. Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tashawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal tashawwuf bertindak dan berbicara tentang tashawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tashawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran.
Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.”Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi adalah tokoh-tokoh tashawwuf yang kitab-kitab tashawwuf penuh dengan ucapan, informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta?Saya ingin mengutip pandangan para tokoh tashawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka sesungguhnya.
Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.Al-Imam Junaid RA berkata : “ Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau.
”Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid Al-Bastomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “ Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali. ” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi salam. “ Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari beberapa etika Rasulullah, maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiiqin, “ kata Abu Yazid.Dzunnuun Al Mishri berkata, \"Poros dari segala ungkapan ( madaarul Kalam ) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti Al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka.
Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.\"As-Sirri As-Siqthi berkata, “Tashawwuf adalah identitas untuk tiga makna ; Shufi (pengamal tashawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial Al-Kitab dan As-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabir keharaman Allah. Abu Nashr Bisyr ibn Al Harits Al Hafi berkata, “ Saya bermimpi bertemu Nabi Saw. “ Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan derajatmu mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “ Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik ( Abror ).”Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur Al-Bashthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah padahal Rasulullah tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah. Kemudian Allah mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan menghadapku atau tembok.
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.” Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah Al-Daaraani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya kecuali dengan dua saksi adil ; Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Abul Hasan Ahmad ibn Abil Hawaari berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah Al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap saat dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar ( diwaanirrijaal ). Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan Al-Qur’an dan tidak mencatat Al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tashawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip Al-Kitab dan Al-Sunnah dan ilmuku ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah.” Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail Al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan batin.”Ia juga berkata, “Bersahabat dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur dan
senantiasa takut kepada-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih. Ia juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah. Allah SWT berfirman yang Artinya : \"Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.\" ( Q.S.An.Nuur : 54 )Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nawawi mengatakan, “Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatinya.”Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah ( muraqabat ) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn ‘Atha’ mengatakan, “Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti Al-Habib Rasulullah SAW dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau SAW.” Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah kecuali mengikuti Rasulullah SAW dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.” Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud Al-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah dan mengikuti Nabi-Nya SAW.”Mamsyad Ad-Dinawari berkata, “Etika murid adalah selalu dalam menghormati masyayikh ( guru ), membantu kawan-kawan, terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.” Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardluan Allah kecuali Allah akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”
SUBSTANSI KELOMPOK IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI ( ASYA’IRAH )
Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab Al-Asya’irah ( kelompok ulama penganut madzhab Imam Asy’ari ) dan tidak mengetahui siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Sebagian kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar dari Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifat Allah. Ketidaktahuan terhadap madzhab Al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan kelompok ahlussunnah dan terpecah-pecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian kalangan yang bodoh memasukkan Al-Asya’irah dalam daftar kelompok sesat. Saya tidak habis pikir, mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan ? Dan mengapa ahlussunnah dan kelompok ekstrim mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan ?35. \"Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa ( orang kafir ).\" ( Q.S.Al.Qalam : 35 )Al-Asya’irah adalah para imam simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama ahlissunnah yang menentang kesewenang-wenangan mu’tazilah.
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Asya’irah digambarkan sbb : Para ulama adalah pembela ilmu agama dan Al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama ( ushuluddin ). Al-Fataawaa, volume 4.Al-Asya’irah ( penganut madzhab Al-Asy’ari ) terdiri dari kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti :• Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar Al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi sebagai gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathul Baari ‘ala Syarhil Bukhaari. • Syaikhu Ulamai Ahlissunnah, Al-Imam An-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun banyak kitab populer.• Syaikhul Mufassirin Al-Imam Al-Qurthubi penyusun tafsir Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an.• Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami, penyusun kitab Az-Zawaajir ‘aniqtiraafil Kabaa’ir.• Syaikhul Fiqh , al-hujjah ( argumentasi ) dan ats-tsabat ( tokoh ulama yang dipercaya ) Zakaaria Al-Anshari.• Al-Imam Abu Bakar Al-Baaqilani• Al-Imam Al-Qashthalani.• Al-Imam An-Nasafi• Al-Imam Asy-Syarbini• Abu Hayyan An-Nahwi, penyusun tafsir Al-Bahru Al-Muhith.• Al-Imam Ibnu Juza, penyusun At-Tashil fi ‘Uluumittanziil.• Dsb.
Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan Al-Asya’irah, maka keadaan tidak akan memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai nama para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah mengabdi kepada syari’at junjungan para rasul Muhammad SAW.
Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika kita menuding para ulama besar dan generasi salaf shalih telah menyimpang dan sesat ? Bagaimana Allah akan membukakan mata hati kita untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah menyimpang dan tersesat dari jalan Islam?Saya ingin bertanya, “Adakah dari para ulama sekarang dari kalangan doktor dan orang-orang jenius, yang telah mengabdi kepada hadits Nabi SAW sebagaimana dua imam besar ; Ibnu Hajar Al-‘Asqqalani dan Al-Imam An-Nawawi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan keridloan kepada mereka berdua.” Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua dan ulama Al-Asya’irah yang lain, padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu mereka ? Mengapa kita mengambil ilmu dari mereka jika mereka memang sesat? Padahal Al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah berkata : Ilmu hadits ini adalah agama maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian. Apakah tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam di atas, untuk mengatakan, “Mereka rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah dalam menafsirkan sifat-sifat Allah.
Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti metode mereka.” Sebagai ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah menyimpang dan sesat dan kami marah atas orang yang mengkategorikan mereka sebagai ahlussunnah. Bila Al-Imam An-Nawawi, Al-‘Asqalani, Al-Qurthubi, Al-Fakhrurrazi, Al-Haitami dan Zakaria Al-Anshari dan ulama besar lain tidak dikategorikan sebagai ahlussunnah wal jama’ah, lalu siapakah mereka yang termasuk ahlussunnah wal jama’ah?.Sungguh, dengan tulus kami mengajak semua pendakwah dan mereka yang beraktivitas di medan dakwah Islam untuk takut kepada Allah dalam menilai ummat Muhammad, khususnya menyangkut tokoh-tokoh besar ulama dan fuqaha’. Karena, ummat Muhammad tetap dalam kondisi baik hingga tiba hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak mengakui kedudukan dan keutamaan para ulama kita sendiri.
ESENSI-ESENSI YANG SELESAI DENGAN KAJIAN
Polemik berkembang di antara ulama menyangkut banyak substansi persoalan dalam bidang aqidah, yang Allah tidak membebani kita untuk mengkajinya. Dalam pandangan saya polemik ini telah menghilangkan keindahan dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro kontra para ulama menyangkut melihatnya Nabi SAW kepada Allah dan bagaimana cara melihatnya, dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan ini. sebagian berpendapat Nabi melihat Allah dengan hatinya, dan sebagian berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak berguna.
Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak berguna sama sekali. Justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Apalagi jika masyarakat awam mendengar polemik yang pasti menimbulkan keragu-raguan di hati mereka ini. Jika kita mau mengesampingkan polemik ini dan menganggap cukup dengan menyajikan sunstansi persoalan ini apa adanya maka niscaya persoalan ini tetap dimuliakan dan dihargai dalam sanubari kaum muslimin, dengan cara kita mengatakan bahwa Rasulullah SAW melihat Tuhannya.
Cukup kita berkata demikian sedangkan menyangkut cara melihat dan lain sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi. وكلم الله موسى تكليما*Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang berkembang di antara para ulama menyangkut substansi firman Allah SWT dan perbedaan luas dalam masalah ini. sebagian berpendapat bahwa firman Allah adalah suara hati ( kalam nafsi ) dan sebagian lagi berpendapat bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara. Saya sendiri berpendapat kedua pihak ini sama-sama mencari substansi mensucikan Allah dan menjauhi syirik dalam berbagai bentuknya.
Persoalan kalam ( firman Allah ) adalah kebenaran yang tidak bisa diingkari, karena tidak meniadakan kesempurnaan ilahi. Ini adalah pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari aspek lain, sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib dipercayai dan ditetapkan, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri. Apa yang saya yakini dan saya ajak adalah menetapkan kebenaran ini tanpa perlu membicarakan bagaimana cara dan bentuknya. Kita tetapkan bahwa Allah memiliki sifat kalam dan berkata : Ini adalah kalam Allah dan Allah SWT adalah Dzat yang berbicara. Kita cukup berbicara seperti ini dan menjauhi mengkaji apakah kalam itu kalam nafsi atau kalam yang bukan nafsi yang berhuruf dan bersuara atau tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Karena pembahasan seperti ini berlebihan, yang Nabi Muhammad sebagai pembawa tauhid tidak pernah membicarakannya. Lalu mengapa kita menambahkan apa yang datang dibawa oleh Nabi ? Bukankah hal semacam ini adalah salah satu bid’ah terburuk ? Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim. Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita tentang kalam pada saat kita berkumpul dengan beliau di sisi Allah SWT.
Kami mengajak agar pembicaraan kita selamanya menyangkut substansi kalam dan masalah sejenis terlepas dari pembahasan mengenai cara dan bentuknya.إني أراكم من خلفي*Saya Mampu Melihatmu dari BelakangSalah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang terjadi di antara ulama menyangkut substansi sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya saya bisa melihat kalian dari belakang sebagaimana dari arah depan.” Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah SWT menciptakan dua mata di arah belakang.
Sebagian berpendapat bahwa Allah SWT menjadikan kedua mata beliau yang di depan memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian belakang. Sebagian lagi berpendapat bahwa Allah SWT membalik obyek yang ada di belakang Nabi sehingga berada di depan beliau. Semua ini adalah interpretasi berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan keindahan dan keelokannya sekaligus meredupkan kewibawaan dan keagungannya di hati manusia. Adapun keberadaan Nabi mampu melihat orang yang berada di belakang sebagaimana melihat orang yang ada di depan maka ini adalah fakta yang telah disampaikan beliau sendiri dalam hadits shahih.
Maka tidak ada ruang sama sekali untuk membantahnya. Namun apa yang saya ajak dan menjadi pendapat saya adalah menetapkan fakta ini apa adanya tanpa perlu mengkaji cara dan bentuknya. Kita wajib meyakini kemungkinan terjadinya dan dampaknya, dengan cara menyaksikan salah satu hal yang di luar kebiasaan yang meminggirkan faktor penyebab untuk menampakkan kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa serta kedudukan Rasulullah SAW. جبريل يتمثل رجلا*Jibril Menyamar sebagai Seorang LelakiPara ulama bersilang sengketa menyangkut penyamaran Jibril AS saat datang membawa wahyu dalam bentuk seorang lelaki padahal fisik Jibril sangat luar biasa besar.Sebagian berpendapat bahwa Allah membuang kelebihan dari fisiknya. Sebagian lain menyatakan sebagian fisiknya menyatu dengan yang lain sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut hemat saya interpretasi ini tidak berguna. Saya meyakini Allah mampu membuat Jibril menyamar dalam bentuk seorang laki-laki dan ini merupakan fakta yang telah disaksikan oleh banyak sahabat.
Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara penyamaran Jibril dalam bentuk seorang laki-laki dan saya mengajak saudara-saudara kita sesama pelajar untuk menyampaikan fakta ini tanpa perlu menyinggung perbedaan-perbedaan yang menyertainya agar fakta ini tetap besar dan agung dalam hati.
0 Response to "( Mafahim Yajibu an Tushahhhah - 1) AQIDAH KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG Oleh Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani Makkah"
Post a Comment