Asy  Syaikh Abubakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang tidak  bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di  penghabisannya.”
Beberapa bulan terakhir, ada sebuah buku yang  banyak dicari-cari orang. Buku tersebut memuat kumpulan biografi para  habib yang memiliki peranan penting dalam perkembangan dakwah Islam di  Indonesia. Judulnya, Biografi 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia. Karena  respons peminatnya yang cukup besar, hanya dalam tempo tiga bulan buku  tersebut sudah tiga kali cetak ulang. Hingga diturunkannya tulisan ini,  buku itu sudah dicetak hingga 12 ribu eksemplar. 
Bila  diperhatikan secara seksama, buku tersebut memiliki keunikan tersendiri  dibanding buku-buku sejenis lainnya. Selain memuat kisah perjalanan  para habib sebagai insan-insan dakwah yang memiliki pengaruh kuat dalam  perkembangan agama Islam di tanah air, buku tersebut juga dilengkapi  banyak foto eksklusif para habib itu sendiri.
Tidak  mengherankan, karena ternyata buku itu disusun seorang sayyid muda yang  sudah lebih dari sepuluh tahun terakhir bersusah payah mengumpulkan dan  memelihara foto-foto para habib. Dari yang antik-antik atau foto-foto  habaib dan ulama tempo dulu, hingga foto-foto habaib zaman sekarang. Di  samping mengoleksi foto, ia juga gemar mengumpulkan kisah-kisah  perjalanan hidup mereka. 
Dulu,  di awal kesukaannya mengumpulkan foto-foto habaib dan manaqib para  salaf, tidak terbersit sedikit pun dalam pikirannya bahwa pada suatu  saat kelak ia akan menyusun buku semacam ini. Namun sekarang, terbitnya  buku tersebut adalah salah satu bentuk natijah (buah) dari keringat  himmah (kesungguhan)-nya selama ini, yang dengan penuh suka dan duka  mengumpulkan jejak-jejak dakwah para habib. 
Siapakah sayyid muda penulis buku itu? Dialah Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah.
Kenikmatan Memandang Wajah HabaibHabib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah lahir pada tanggal 8 Juni 1982 di kota Solo, dari pasangan Habib Umar bin Agil bin Umar Mauladawilah (asal kota Malang) dan Syarifah Sidah binti Abdullah bin Husen Assegaf (asal kota Solo).
Siapakah sayyid muda penulis buku itu? Dialah Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah.
Kenikmatan Memandang Wajah HabaibHabib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah lahir pada tanggal 8 Juni 1982 di kota Solo, dari pasangan Habib Umar bin Agil bin Umar Mauladawilah (asal kota Malang) dan Syarifah Sidah binti Abdullah bin Husen Assegaf (asal kota Solo).
Dua  tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 21 Februari 2007, ayah Habib  Abdul Qadir wafat. Rencananya, sang ayah pada musim haji tahun ini akan  berangkat haji. Tapi Allah SWT telah memanggilnya terlebih dahulu.
Dulu, saat orangtuanya menikah, yang menikahkan adalah Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah. 
Setelah  dikaruniai seorang putra, Habib Umar bin Agil Mauladawilah (ayah Habib  Abdul Qadir, penulis buku ini) menemui Habib Abdul Qadir bin Ahmad  Assegaf dan menyampaikan kabar tentang kelahiran putra pertamanya. Saat  itu, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf-lah yang memberikan nama si  anak yang baru lahir tersebut. Nama yang diberikan adalah sebagaimana  namanya sendiri. Yaitu, Abdul Qadir.
Masa  usia sekolah Habib Abdul Qadir dijalani seperti kebanyakan anak-anak  lainnya. Ia masuk Sekolah Dasar Negeri 7 Sukun, Malang, dan kemudian  melanjutkannya ke SMP Negeri 12 Malang. Selepas jenjang sekolah  menengah, ia melanjutkan pendidikannya pada Madrasah Aliyah Daaruttauhid  Malang sambil mondok di Pondok Pesantren Daruttauhid, yang pada masa  itu masih di bawah asuhan Ustadz Abdullah bin Awwadh Abdun. Ia  menyelesaikan pendidikan aliyahnya ini pada tahun 2000. 
Setelah  selesai pendidikan MA, ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia masih  meneruskan pendidikan diniyah di Pondok Pesantren Daruttauhid tersebut  hingga tahun 2001, yaitu setelah gurunya, Ustadz Abdullah Abdun, wafat.
Sebelum  masuk pondok, ia lebih fokus pada pendidikan umum dan sama sekali belum  terpikirkan akan bergerak di bidang keagamaan. Kegiatan yang merupakan  kegemarannya mengumpulkan dokumentasi di seputar habaib baru dimulai  sejak tahun 1997, saat ia masuk Pesantren Daruttauhid. 
Saat  tinggal di pesantren tersebut, ia mulai merasakan adanya kenikmatan  tersendiri saat berkumpul dan duduk dalam satu majelis bersama para  habib. Ia pun kemudian mulai turut hadir pada acara-acara Maulid Nabi  SAW ataupun haul para habib di sekitar Jawa Timu. 
Seingatnya,  setelah ia tinggal di Daruttauhid, acara yang pertama kali dihadirinya  adalah haul Habib Shalih bin Muhsin Al-Hamid, Tanggul, Jember, Jawa  Timur.
Dalam majelis-majelis ilmu seperti itu, baik di dalam pesantren sendiri maupun di acara-acara perayaan seperti acara haul, hatinya merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ia merasakan kenikmatan bathiniah yang sukar dilukiskan.
Benarlah  apa yang disebutkan dalam kalam Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi yang  termaktub pada kitab Al-Manhaj As-Sawi, karya Habib Zen bin Ibrahim Bin  Smith, “Duduk satu saat bersama orang-orang shalih, lebih bermanfaat  bagi seorang hamba dari seratus atau seribu kali ‘uzlah (menyendiri,  menyepi, menghindarkan diri atau mengasingkan diri dari lalu-lalangnya  kehidupan duniawi demi penyucian diri – Red.).” Saat itu ia juga  merasakan kenikmatan tersendiri kala memandang teduhnya wajah para habib  yang datang pada acara-acara yang ia hadiri. Di hatinya pun mulai  tumbuh rasa suka memandang wajah mereka, meskipun hanya lewat  lembaran-lembaran fotonya.
Ia  ingat, pertama kali foto yang didapatkannya adalah foto-foto Habib  Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan Habib Umar Bin Hud Al-Attas. Habib  Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dapat dikatakan adalah salah satu tokoh  terpenting habaib saat ini. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf ini  pulalah orang yang telah menikahkan orangtuanya dan memberikan nama pada  dirinya sewaktu ia lahir. Sementara Habib Umar Bin Hud Al-Attas adalah  seorang wali besar dari kota Jakarta yang telah wafat beberapa tahun  silam. Saat memandang kedua tokoh habaib tersebut, hatinya berdecak  kagum.
Sebuah  maqalah ulama dalam kitab Nashaih Al-‘Ibad, karya Syaikh Nawawi  Al-Bantani, menyebutkan bahwa di antara manusia ada yang jika kita  memandang wajahnya kita akan merasa bahagia. Demikianlah, dari sana  kemudian timbul keinginan untuk mengabadikan momen-momen yang menyentuh  hatinya tersebut, dan ia pun mulai aktif mengumpulkan foto-foto para  habib. 
Sejak  dari acara haul Habib Shalih Tanggul yang pertama kali ia hadiri kala  itu, ia mulai menikmati aktivitasnya mengambil gambar saat  berlangsungnya acara dengan kamera seadanya yang ia miliki. 
Tanpa  disadarinya, keasyikan yang kemudian dijalaninya secara serius dalam  mengumpulkan foto para habib dari sejak ia masih nyantri di Daruttauhid,  merupakan titik tolak penting dalam perjalanan hidupnya kelak. 
Dalam  salah satu kalamnya, Asy Syaikh Abubakar bin Salim mengatakan, “Siapa  yang tidak bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di  penghabisannya.” Sekalipun kalam itu lebih ditujukan pada konteks  mujahadah an-nafs (kesungguh-sungguhan dalam perjuangan melawan  keinginan syahwat dan berbagai kecenderungan jiwa rendah), dari keumuman  redaksi kalimat yang digunakan, konteks permasalahannya dapat  diperluas. Terkait dengan kalam tersebut, perjalanan hidup Habib Abdul  Qadir ini juga dapat menjadi hikmah bagi siapa pun yang menjalani segala  kebaikan secara bersungguh-sungguh.
Terinspirasi dari Sang GuruSewaktu mondok dulu, anak pertama dari empat bersaudara ini juga menyaksikan betapa Ustadz Abdullah Abdun, gurunya, sangat ta’zhim kepada guru tempat Ustadz Abdullah Abdun menimba ilmu agama dulu. Guru yang dimaksud adalah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri Madrasah Al-Khairat, Palu, Sulawesi Tengah.
Bertahun-tahun lamanya Ustadz Abdullah Abdun berguru kepada Habib Idrus Al-Jufri. Setelah wafatnya Habib Idrus Al-Jufri, beberapa tahun kemudian Ustadz Abdullah Abdun menuliskan sebuah risalah yang berisi biografi sang Guru Tua, julukan bagi Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.
Terinspirasi dari Sang GuruSewaktu mondok dulu, anak pertama dari empat bersaudara ini juga menyaksikan betapa Ustadz Abdullah Abdun, gurunya, sangat ta’zhim kepada guru tempat Ustadz Abdullah Abdun menimba ilmu agama dulu. Guru yang dimaksud adalah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri Madrasah Al-Khairat, Palu, Sulawesi Tengah.
Bertahun-tahun lamanya Ustadz Abdullah Abdun berguru kepada Habib Idrus Al-Jufri. Setelah wafatnya Habib Idrus Al-Jufri, beberapa tahun kemudian Ustadz Abdullah Abdun menuliskan sebuah risalah yang berisi biografi sang Guru Tua, julukan bagi Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.
Habib  Abdul Qadir merasa, apa yang dilakukan gurunya tersebut benar-benar  dapat menjadi manfaat bagi dirinya dan juga untuk orang banyak lainnya  yang ingin mengetahui perjalanan hidup Habib Idrus bin Salim Al-Jufri. 
Di  samping mengoleksi foto-foto, ia pun kemudian menemukan kebiasaan baru  lainnya, yaitu mengoleksi manaqib para ulama dan habaib. Dengan membaca  manaqib mereka, ia merasa lebih dekat dengan mereka.
Selain  mengoleksi manaqib yang telah cukup banyak tertulis, ia juga mengoleksi  kumpulan manaqib dari kutipan-kutipan ceramah para pembicara di  acara-acara haul. Di acara-acara tersebut, biasanya pembicara  mengisahkan perjalanan hidup orang yang sedang dirayakan haulnya.  Merekam isi ceramah saat acara berlangsung adalah salah satu kiatnya  untuk mengumpulkan kisah-kisah para habib dengan menggunakan tape  recorder miliknya.
Pada  akhirnya, Habib Abdul Qadir ini pun sekaligus sempat menjadi seorang  kolektor kaset rekaman isi ceramah-ceramah keagamaan pula. Jumlah kaset  yang dikoleksinya bertambah dari waktu ke waktu.
Dalam  aktivitas merekam itu, ia selalu berusaha merekam selengkap mungkin.  Sewaktu acara di tempat Habib Anis Solo misalnya, ia merekamnya dari  mulai acara rauhah, haul, hingga Maulid-nya. Sehingga kalau hadir di  acara haul Solo, paling sedikit ia harus membawa lima buah kaset.  Apalagi kalau ia hadir dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi SAW di  Jakarta, yang berlangsung sekitar dua hingga tiga pekan lamanya.  Sepulangnya dari Jakarta, ia bisa membawa sekurang-kurangnya 70 kaset  hasil rekaman. 
Kalau  acara haul di Tegal dan Pekalongan, di masing-masing kota tersebut ia  harus menyediakan minimal sekitar tujuh sampai delapan kaset.
Di  samping koleksi foto-fotonya, koleksi kasetnya pun bertambah dari waktu  ke waktu. Kendala yang dihadapi olehnya dalam mengoleksi kaset ternyata  tidak sederhana. Dalam menatanya, butuh waktu yang tidak singkat. Ia  perlu memutar dulu masing-masing kaset koleksinya untuk kemudian  menandainya satu per satu. Maklum saja, pada saat awal ia mengoleksi  kaset itu, teknologi suara digital belum terlalu akrab di kota tempat  tinggalnya. 
Belum  lagi perawatan pada fisik kaset koleksinya. Bila tidak dirawat dengan  baik, pita kaset akan menjamur. Hingga pernah suatu ketika sekitar 250  kumpulan koleksi kasetnya rusak termakan jamur.
Akhirnya  ia sendiri mulai agak kewalahan menangani jumlah kaset rekamannya yang  semakin banyak. Sementara dulu teknologi penyimpanan data digital tidak  cukup mudah dijangkau seperti zaman sekarang. Sekarang semua orang dapat  mengkonversi suara sebagai data digital dan kemudian dimasukkan pada  media penyimpan data, seperti dalam hard disk, flash disk, CD, DVD, dan  yang sejenisnya, dengan sebegitu mudahnya. Kalaupun dulu ada, harganya  pun masih relatif sangat mahal. 
Ia  kemudian lebih memfokuskan diri pada koleksi foto saja. Banyak koleksi  kaset rekaman yang ia miliki kemudian diserahkannya kepada sejumlah  kawannya. Bukan dipinjamkan, tapi ia berikan begitu saja secara  cuma-cuma. Ia berpikir, mungkin orang lain memiliki waktu dan  konsentrasi yang lebih dibanding dirinya dalam memelihara kaset-kaset  rekaman tersebut.
Ternyata  koleksi foto-fotonya saja, yang kemudian dilengkapi dengan kumpulan  manaqib para ulama, sangat bermanfaat sekarang ini. Sebuah perkataan  yang terdapat dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, karya Syaikh Az-Zarnuji,  kiranya dapat dengan tepat menggambarkan apa yang telah dijalani oleh  Habib Abdul Qadir. “Sekadar kesusahan yang ditempuh seseorang, maka akan  didapat apa yang dicita-citakan.”
Bingkai Besar di Atas MotorSiapa yang mencari sesuatu secara bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan. Ungkapan ini juga termaktub dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kesungguh-sungguhan Habib Abdul Qadir, yang juga ternyata seorang kolektor majalah alKisah dari sejak edisi pertama kalinya, telah teruji oleh waktu.
Bingkai Besar di Atas MotorSiapa yang mencari sesuatu secara bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan. Ungkapan ini juga termaktub dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kesungguh-sungguhan Habib Abdul Qadir, yang juga ternyata seorang kolektor majalah alKisah dari sejak edisi pertama kalinya, telah teruji oleh waktu.
Banyak  kisah suka duka yang dialaminya dari sejak ia menjalani aktivitasnya  mengoleksi foto para habib. Pernah suatu kali ia mengetahui ada  seseorang di daerah Pujon, Batu, Malang, yang memiliki foto Habib  Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Menurutnya, pose Habib Muhammad Al-Maliki  dalam fotonya itu unik dan menarik. Maka kemudian ia meminjam foto  tersebut. Foto itu ada dalam sebuah bingkai besar yang ukurannya hampir  seukuran pintu rumah. 
Waktu  itu ia hendak meminjam fotonya saja, tapi si empunya foto rupanya  keberatan, karena khawatir akan rusak. “Kalau mau pinjam, silakan  sekalian berikut bingkainya,” katanya. 
Saat  itu ia pun kebingungan, dengan apa ia akan membawa bingkai sebesar itu.  Padahal ia hanya membawa sepeda motor. Akhirnya, ia, yang saat itu  berdua dengan seorang kawan, memutuskan untuk tetap membawa foto  berbingkai besar tersebut, sekalipun dengan menggunakan sepeda motor. 
Di  sepanjang perjalanan, ternyata membawanya cukup sulit, dan harus ekstra  hati-hati, agar tidak terbentur kendaraan lain. Bebannya juga semakin  berat karena tekanan angin yang mendorong bingkai foto tersebut.
Sesampainya di kota Malang, hujan deras turun secara tiba-tiba. Maka ia dan kawannya segera mencari tempat untuk berteduh. Lantaran begitu derasnya hujan, tempat berteduhnya pun terkena air hujan yang tampias. Air itu mengenai bingkai foto dan sempat merusak foto di dalamnya.
Sesampainya di kota Malang, hujan deras turun secara tiba-tiba. Maka ia dan kawannya segera mencari tempat untuk berteduh. Lantaran begitu derasnya hujan, tempat berteduhnya pun terkena air hujan yang tampias. Air itu mengenai bingkai foto dan sempat merusak foto di dalamnya.
Setelah sampai di rumah, ia merepro foto tersebut dan mengganti foto yang rusak itu dengan sedikit proses di sana-sini.
Alhamdulillah,  setelah dikembalikan, pemilik foto tersebut tampak senang menerimanya.  Mungkin karena hasil foto repro barunya itu terlihat lebih bagus dari  aslinya.
Setelah  kejadian itu, bukannya kapok, Habib Abdul Qadir malah semakin merasa  asyik dalam menjalani aktivitas memburu foto-foto para habib.
Nasib BaikSuatu hari ia pernah tersasar di suatu desa di daerah Malang. Saat sedang duduk-duduk di depan sebuah rumah, ia sekilas melihat di dalam rumah tersebut terdapat foto habaib yang unik menurutnya. Namun ternyata penghuni rumah itu sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.
Nasib BaikSuatu hari ia pernah tersasar di suatu desa di daerah Malang. Saat sedang duduk-duduk di depan sebuah rumah, ia sekilas melihat di dalam rumah tersebut terdapat foto habaib yang unik menurutnya. Namun ternyata penghuni rumah itu sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.
Biasanya,  seusai kerja, yaitu sekitar pukul lima sore, penghuni rumah itu sudah  sampai di rumah. Ia pun kemudian menunggu selama berjam-jam untuk  menanti kedatangan penghuni rumah tersebut. Saat penghuni rumah itu  datang, ia menyampaikan maksudnya untuk meminjam foto yang terpampang di  dinding ruangan depan rumah milik orang tersebut. 
Awalnya  si pemilik rumah tampak sedikit curiga. Wajar saja, karena dia merasa  tidak mengenalnya sama sekali. Namun setelah diterangkan secara  baik-baik, akhirnya ia diperbolehkan meminjam foto itu. 
“Silakan bawa, tapi segera kembalikan lagi,” demikian pesan si pemilik foto.
“Bukannya saya berpikir tidak akan mengembalikan, tapi daerah itu sama sekali saya tidak tahu. Jangankan berpikir untuk mengembalikan foto itu, untuk kembali pulang ke rumah saja saya tidak paham,” ujarnya bercerita.
“Bukannya saya berpikir tidak akan mengembalikan, tapi daerah itu sama sekali saya tidak tahu. Jangankan berpikir untuk mengembalikan foto itu, untuk kembali pulang ke rumah saja saya tidak paham,” ujarnya bercerita.
Akan tetapi karena ia memang niat meminjam, ia berjanji akan mengembalikan setelah ia merepronya. 
Dengan sedikit bersusah payah akhirnya sampai juga ia di rumah.
Dengan sedikit bersusah payah akhirnya sampai juga ia di rumah.
Setelah  foto itu direpro, ia pun memenuhi janjinya, mengembalikan foto  tersebut. Seperti saat ia hendak pulang ke rumah, untuk mencari kembali  rumah si pemilik foto itu pun ternyata menempuh waktu yang tidak  sebentar. Namun akhirnya ia sampai juga di sana. 
Apa  yang dialami oleh Habib Abdul Qadir mengingatkan orang pada apa yang  dikatakan  Imam Syafi’i dalam salah satu diwan-nya, “Nasib baik dapat  mendekatkan setiap perkara yang jauh. Nasib baik dapat membuka setiap  pintu yang tertutup.”
Tentunya,  nasib baik itu akan menjadi sempurna adanya bila berdasarkan niat yang  baik pula, seperti halnya niatan yang ada dalam hati Habib Abdul Qadir  dalam memelihara jejak-jejak peninggalan para salaf ash-shalih. 
0 Response to "Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah: Memelihara Jejak-jejak Salaf Ash-Shalih "
Post a Comment