Julukan                                     : Abu Hasan Al-Tsani 
Riwayat                                     Hidup
                                        Untuk yang kesekian  kalinya keluarga Rasulullah dibahagiakan atas kelahiran seorang manusia  suci,                                     pilihan Allah demi kelestarian  hujjahnya yaitu Musa bin Ja'far. Beliau dilahirkan pada hari Ahad 7  Shafar 128 H di kota                                     Abwa' antara Makkah dan Madinah.
                                        Ayahnya begitu gembira  dengan kelahiran putranya ini hingga beliau berucap: "Aku berharap tidak                                     memperoleh putra lain selain dia  sehingga tidak ada yang membagi cintaku padanya". Ayahnya, Imam Ja'far  As-Shadiq, telah mengetahui                                     bahwa bayi tersebut akan menjadi  orang besar dan mempunyai kedudukan yang mulia yaitu sebagai calon Imam,  pemimpin spiritual                                     yang akan menjadi penerus Ahlul Bait  dalam berhidmat untuk risalah Allah SWT yang dipercayakan kepada  kakeknya Muhammad s.a.w.                                     Beliau dilahirkan dari seorang ibu  yang bernama Hamidah, seorang wanita berkebangsaan Andalusia                                     (Spanyol). Sejak masa kecilnya  beliau telah menunjukkan sifat kepandaiannya. Pada suatu saat Abu  Hanifah datang ke kediaman                                     Imam Ja'far As-Shadiq untuk  menanyakan suatu masalah. Pada waktu itu Imam Ja'far As-Shadiq a.s.  sedang istirahat lalu Abu                                     Hanifah bertanya kepada anaknya,  Musa Al-Kadzim yang pada waktu itu berumur 5 tahun. Setelah mengucapkan  salam beliau bertanya:                                     Bagaimana pendapat Anda tentang  perbuatan-perbuatan seorang manusia? Apakah dia melakukan sendiri atau  Allah yang mejadikan                                     dia berbuat seperti itu? "Wahai Abu  Hanifah! Imam berusia 5 tahun tersebut menjawab dengan gaya seperti para ketuanya,: "perbuatan-perbuatan seorang manusia dilahirkan atas tiga kemungkinan.
                                        Pertama, Allah sendiri  yang melakukan sementara manusia benar-benar tak berdaya. Kedua, Allah  dan                                     manusia sama-sama berperanan atas  perbuatan-perbuatan tersebut. Ketiga, manusia sendiri yang melakukannya.  Maka, jika penjelasan                                     pertama yang benar dengan jelas  membuktikan ketidakadilan Allah yang menghukum makhIuk-Nya atas  dosa-dosa yang mereka tidak                                     lakukan. Dan jika kondisi yang kedua  diterima, maka Allah pun tidak adil kalau Dia menghukum manusia atas  kesalahan-kesalahan                                     yang di dalamnya Allah sendiri  bertindak sebagai sekutu. Tinggal alternatif yang ketiga, yakni bahwa  manusia sepenuhnya bertanggung                                     jawab atas perbuatan-perbuatan  mereka sendiri". Mengenai situasi politik di zaman beliau hampir sama  dengan zaman sebelumnya.                                     Beliau hidup dalam zaman yang paling  kritis di bawah raja-raja zalim dari Bani Abbas. Beliau hidup di zaman  Al-Manshur, Al-Mahdi,                                     Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid. Di masa  Imam Musa masih berusia 5 tahun. Telah terjadi sebuah peristiwa besar  yaitu runtuhnya                                     Dinasti Umayyah dan bangkitnya  Dinasti Abbasyiah. Bani Abbasiyah juga tidak kalah dalam perbuatan  jahatnya. Kedudukan jadi                                     rebutan di saat itu, sementara  istana dipenuhi dengan gundik-gundik dan harta. Tari-tarian serta lagu  dan syair menjadi hiasan                                     istana Bani Abbasyiah, kejahatan  mereka bermaharajalela dan kejatuhan moral hampir berada dimana-mana.  Nasib keluarga Imam                                     Musa a.s. (Al-Alawiyin) teraniaya di  zaman ini.
                                        Di zaman Al-Manshur  mereka dipenjarakan tanpa diberi makan, sebagian lagi diusir dari  rumah-rumahnya                                     dan yang lain dibunuh. Penguburan  hidup-hidup bukan merupakan pemandangan yang baru lagi di zaman ini.  Kebiadaban Al-Manshur                                     tidak berlangsung lama pada tanggal 3  Dzulhijjah158 H, dia mati lalu digantikan oleh anaknya Al-Mahdi.  Al-Mahdi memerintah                                     sejak 3 Dzulhijjah 158-22 Muharam  169. Di masa pemerintahannya, Imam Musa pernah dipenjarakan di Baghdad  yang kemudian dibebaskan lagi. Walau penekanan dan kejahatan tidak  dapat dielakkan                                     lagi, namun penderilaan Ahlul Bait  tidaklah separah di zaman Al-Manshur. Setelah beberapa tahun, Al-Mahdi  juga meninggal dunia                                     dan sejak 22 Muharram 169 H,  anaknya, Al-Hadi, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Bani Abbas.  Dia terkenal kejam dan                                     bengis sekali. Pada masa  pemerintahan-nya terjadi sebuah pemberontakan yang bernama "Fakh", yang  dipimpin Al-Husein bin Ali                                     bin Al-Hasan bin Al-Husein bin  Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan Fakh yang dipimpin oleh  Husein bin Ali sama                                     seperti kejadian "Karbala".  Keluarga Bani Hasyim disertai                                     beberapa pengikutnya yang  keseluruhannya berjumlah 200 orang dipaksa menghadapi musuh yang  berjumlah beberapa kali lipat.                                     Peperangan itu tidak berlangsung  lama pasukan Bani Hasyim yang dipimpin Al-Husein bin Ali bin Hasan  akhirnya kalah dan porak                                     peranda, kemudian mereka semua  dipenggal dan anggota tubuhnya dipisah-pisah. Tidak cukup sampai di sini  rumah-rumah mereka                                     dibakar dan pasukan al-Hadi kemudian  merampas harta dari keluarga para syuhada’ yang syahid dalam membela  kebenaran.                                     Pemerintahan al-Hadi hanya  berlangsung 1 tahun dan pada tahun 170 H, Harun Al-Rasyid naik tahta dan  menjadi penguasa dari                                     Bani Abbas.
                                        Kebijaksanaan politik  Harun al-Rasyid tidak berbeda dengan zaman al-Hadi. Dia tidak  segan-segan                                     membunuh puluhan orang hanya karena  adanya suatu fitnahan. Sehingga dia diberi julukan "pedangnya lebih  cepat dari pembicaraannya".                                     Kami akan memberi sebuah contoh dan  kejahatannya, yaitu di suatu waktu dia memanggil Humaid bin Qahtbabah  dan menanyainya                                     tentang ketaatannya kepada Amirul  Mukminin. Humaid menyatakan kesiapannya melaksanakan segala yang  diperintahkan kepadanya.                                     Ketika Harun Al-Rasyid merasa yakin  akan kesetiannya terhadap istana Abbasiyah dan kesanggupannya untuk  melaksanakan perintah,                                     maka al-Rasyid menyuruh seseorang  khadam (pembantu) mengambilkan sebilah pedang, lalu menyuruh Humaid  pergi ke sebuah rumah                                     yang terkunci yang di  tengah-tengahnya terdapat sebuah perigi. Di rumah itu terdapat tiga  kamar yang seluruhnya terkunci.                                     Ketika khadam tersebut  mengantarkannya masuk ke rumah itu, dia membuka salah satu pintu kamar  yang terkunci itu dan ternyata                                     di dalamnya terdapat dua puluh orang  alawiyin dan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah  s.a.w. Mereka                                     terdiri dari anak-anak remaja dan  orang-orang tua dengan kaki dan tangan terikat rantai. Sang khadam  menyuruh Humaid untuk                                     membunuh orang-orang itu dan  memasukkan jasad mereka ke dalam perigi. Humaid pun melaksanakan  perintah tersebut dengan baik.                                     Kemudian pintu kedua dibuka dan di  situ ditemukan pula tawanan sejumlah itu. Kembali khadam itu menyuruh  Humaid membunuh mereka                                     dan memasukkan jasad-jasad mereka ke  dalam perigi, dan Humaid pun melaksanakan perintah tersebut. Pintu  ketiga dibuka pula                                     dan di situ terdapat sejumlah itu.  Lagi-lagi khadam itu menyuruh melakukan hal sama, dan Humaid pun  menaatinya.
                                        Kisah memilukan ini  sebenarnya tertutup rapat-rapat dalam laci para pelakunya. Namun Humaid  bin                                     Qahthabah membukanya ketika dia  merasa bahwa dirinya telah melakukan kejahatan besar telah kehilangan  nilai-nilai kemanusiaan                                     sehingga memohon untuk mendapat  rahmat Allah SWT. Dalam situasi yang mencekik seperti inilah imam hidup  dan berdakwah kepada                                     rakyat di sekitarnya
                                        Melihat pengaruh besar  beliau di tengah-tengah pendukungnya, Harun al-Rasyid merasa cemas dan  kemudian                                     memenjarakan beliau tanpa atasan dan  bukti apapun. Di dalam penjara inilah waktunya dihabiskan untuk  beribadah dan berdakwah                                     di sana.  Suatu ketika Harun al-Rasyid memerintah pengawalnya                                     untuk memasukkan jariah yang cantik  ke dalam penjara Imam, guna merayu dan menjatuhkan martabatnya. Selang  beberapa waktu                                     ternyata Jariah yang cantik itu  telah sujud bersama imam serta diriwayatkan bahwa hingga akhir hayatnya  jariah tersebut menjadi                                     wanita yang shalehah. Segala cara  telah ditempuh, namun imam tetap pada posisinya yang mulia.
                                        Akhirnya, Harun Al-Rasyid  tidak punya pilihan lain kecuali membunuhnya. Sanadi bin Sahik yang  terkenal                                     bengis dan ingin mendapatkan  kedudukan di sisi penguasa Bani Abbas segera menawarkan diri untuk  menjadi pelaksana rencana                                     pembunuhan tersebut. Dia kemudian  meletakkan racun yang mematikan dalam makanan Imam Musa Al-Kazim. Tak  tertangguh lagi, racun                                     tersebut menjalar ke seluruh tubuh  imam, dan imam pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
                                        Jenazahnya dibiarkan terlantar dipenjara selama tiga hari yang kemudian dibuang di jembatan al-Karkh,                                     di kota Baghdad.  Mendengar                                     berita tentang jenazah imam yang  diletakkan di jembatan dan dijadikan bahan olokan oleh pengawal Sanadi  bin Sahik, Sulaiman                                     bin Ja’far Al-Manshur kemudian  mengambil jenazah tersebut lalu memandikan, mengkafaninya dan melumuri  wangian serta                                     menshalati dan menguburkannya.
                                        Belum pernah ada di Baghdad  seseorang                                     yang dikubur yang di hadiri oleh  lautan manusia seperti halnya ketika penguburan imam di pemakaman  Quraish. Bintang Ahlu Bait                                     telah pergi untuk selamanya. Kota  Baghdad seakan gelap dan gulita, sementara Mûsa bin Ja'far telah pergi  dalam keadaan mulia                                     dan terpuji.
                                         Salam                                     sejahtera untukmu di saat kau  dilahirkan dan salam untukmu di saat kau dalam kegelapan penjara serta  salam sejahtera bagimu                                     saat kau dibangkitkan kelak sebagai  orang yang syahid.
=========================
Imam Musa Kadzim, Puncak Kesabaran dan Perjuangan
Tapi tiba-tiba sejumlah tentara Khalifah Harun memasuki mesjid untuk menangkap Imam Musa dan memindahkannya ke penjara Baghdad. Serempak masyarakat di sekitar Imam menghalangi maksud pasukan Harun tersebut. Tapi dengan arogan dan represif, pasukan Harun membubarkan massa dan secara paksa membawa Imam Kadzim. Kejadian itu sulit diterima oleh para pecinta Ahlul Bait. Zaid berteriak, "Mengapa kalian berbuat zalim terhadap Ahlul Bait Rasulullah Saw. Saya datang dari jauh untuk bertemu dengan Imam Musa Kadzim." Ketika itu, pandangan penuh kasih sayang Imam Kadzim tertuju ke arah Zaid. Zaid berkata, "Sayang sekali saya hanya beberapa menit bertemu dengan Imam dan mengambil berkah dari beliau."
Warga Madinah terutama para pencinta Ahlul Bait merasa kehilangan atas kepergian Imam Musa Kadzim yang berpindah ke Baghdad dan mendekam di penjara Harun. Imam menjalani penderitaan dalam tahanan dengan penuh kesabaran. Rezim Abbasiyah memenjarakan Imam Musa Kadzim hingga syahid supaya pengaruh spiritual beliau tidak menyebar di tengah masyarakat.
Di era Harun Rasyid, Imam Musa as hidup selama tiga dekade dari usianya. Ketika itu rezim Abbasiyah melancarkan tekanan keras terhadap siapa pun yang membantu Imam as dan Ahlulbait Nabi Saw. Intimidasi dan represi yang sama juga dihadapi mereka yang berani berdiri sebagai oposan Harun Rasyid. Ketika itu, pemenjaraan dan pembunuhan sudah menjadi cara biasa yang ditempuh rezim lalim.
Imam Musa dalam menjalankan kepemimpinan Ilahi bergerak sesuai dengan metode Rasulullah Saw dan Ahlul Baitnya, demi menjaga autentisitas risalah Tuhan dari kehancuran dan interpolasi kepentingan politik golongan. Di sisi lain, Imam pun tak lupa menegaskan urgensi dan signifikansi prinsip amar makruf dan nahi mungkar di hadapan penguasa lalim dan sewenang-wenang. Madrasah Imam Musa as sebagai kelanjutan madrasah Imam Shadiq, terus berperan dalam mengembangkan tradisi intelektual.
Imam Musa Kadzim juga membina para ulama dan murid-murid yang telah menorehkan prestasinya meninggikan peradaban Islam di antara peradaban-peradaban lainnya. Bahkan, peradaban-peradaban cemerlang lainnya banyak berutang kepada para sarjana terkemuka dan mujtahid yang lahir dari madrasah Imam Shadiq, yang dilanjutkan Imam Musa. Aktivitas pendidikan Imam Musa terbukti mampu menjaga dan mewariskan metode berpikir yang lurus kepada kelompok orang-orang yang saleh dan mencintai kebenaran.
Penataan terus dilakukan demi masa depan umat Islam. Para perintis dari madrasah Ahlulbait ini tak tinggal diam dalam menjaga dan mengembangkan warisan pencerahan Rasulullah saw pada masa yang penuh dengan fitnah dan kecemasan. Terbukti madrasah-madrasah dan aktivitas-aktivitas keilmuan keturunan suci Nabi saw ini melampaui pencapaian sekolah-sekolah mana pun pada masa itu hingga sekarang.
Imam Musa Kadzim selama hidupnya senantiasa menjadi penerang dan pembimbing masyarakat menuju kesempurnaan. Imam Musa hidup di bawah bimbingan langsung sang ayah, Imam Ja'far Shadiq selama dua dekade dari usianya yang penuh keberkahan. Dia menikmati keluasan ilmu sang ayah dikenal di kalangan umat Islam sebagai gurunya para guru; tempat bertanya manusia; pendiri madrasah; dan pelita penerang bagi dunia keilmuan Islam. Sang ayah, Imam Shadiq mengalami kekejaman penguasa lalim. Pada 25 Syawal 148 H, Manshur, ikut andil dalam kejadian terbunuhnya Imam Shadiq. Imamah dan kepemimpinan Ilahi pun berganti kepada Imam Musa Kadzim.
Terbunuhnya Imam Shadiq membuat situasi dan kondisi yang menimpa Ahlulbait Nabi menjadi teramat sulit, termasuk semakin terancamnya hidup Imam Musa. Jauh-jauh hari, sang ayah, Imam Shadiq, telah berpesan kepadanya untuk menjaga dan melanjutkan gerakan risalah Ilahi. Meskipun keadaan politik kian mengancam, pohon kehidupan dan kenabian harus tetap tegak di bumi Tuhan. Udara kebebasan dan ruh kebenaran harus tetap bisa dihirup dan dinikmati umat manusia.
Keteguhan, ketakwaan, dan kesabaran Imam Musa al-Kadzim as dalam merespon intimidasi dan represi rezim Abbasiah telah menjadi gerbang bagi masyarakat untuk mengidentifikasi, mana cahaya dan kegelapan; mana emas dan mana loyang. Pada tanggal 17 Dzulqa'dah 179 H, Imam Musa diasingkan dari Madinah ke Irak atas perintah Harun al-Rashid, Khalifah Abbasiah. Beliau tiba di Irak pada tanggal 7 Dzulhijjah dan langsung dijebloskan ke dalam penjara oleh penguasa lalim ketika itu.
Imam Musa Kadzim mendekam dalam penjara di era kekuasaan Isa bin Ja'far penguasa Basrah hingga beberapa waktu. Namun, kemudian Isa bin Ja'far menulis surat kepada Harun al-Rashid yang isinya meminta agar Imam dipindahkan ke penjara yang dikelola gubernur lain. Isa bin Ja'far beralasan bahwa setelah memeriksa Imam Kadzim as, ia tidak menemukan bukti yang memberatkannya agar dipenjara.
Membaca surat Isa bin Ja'far, Harun al-Rashid kemudian memerintahkan agar Imam Kadzim as dipindahkan ke Baghdad dan meminta kepada menterinya, Fadhl bin Rabi' agar membunuh Imam Musa Kadzim as, namun permintaan ini ditolak oleh Fadhl bin Rabi'. Imam tidak diperkenankan untuk terus membimbing dan menjaga risalah Rasulullah hingga beliau syahid pada 25 Rajab 184 H akibat racun yang direkayasa oleh pihak-pihak yang menjalin kolusi dengan penguasa imperium Abbasiah. Sindi bin Syahik membunuh Imam Musa Kadzim as atas perintah Yahra bin Khalid Barmaki, seorang menteri yang diperintah oleh Harun al-Rashid.
Salam sejahtera untukmu, wahai Imam Musa bin Ja'far, pada saat hari engkau dilahirkan; pada hari engkau berjihad di jalan Allah Swt; dan pada hari engkau syahid; dan pada hari ketika engkau akan dibangkitkan.
Rekan setia, kami segenap kru radio Melayu suara Republik Islam Iran mengucapkan belasungkawa yang terdalam atas syahidnya Imam Musa Kadzim. Di penghujung acara ini, mengambil berkah dari manusia mulia ini kita dengarkan bersama petuah mulia Imam Kadzim yang disampaikan kepada salah seorang sahabatnya.
Imam Musa al-Kadzim berkata, "Wahai Hisyam, sesungguhnya Lukman pernah
berkata kepada anaknya, wahai anakku, merendahlah di hadapan
kebenaran agar engkau menjadi orang yang paling berakal. Sesungguhnya
dunia ini ibarat lautan yang dalam dan sudah banyak yang tenggelam
karenanya. Oleh karena itu jadikanlah takwa sebagai bahteranya, iman
sebagai isinya, tawakkal sebagai bahan bakarnya, akal sebagai
kemudinya dan ilmu sebagai petunjuknya, sedangkan pengemudinya
adalah kesabaran".
0 Response to "Imam Musa Al-Kadzim as"
Post a Comment