Ketika usianya menginjak tiga tahun, ayah Sayid Usman bertolak kembali ke Mekkah, sehingga ia pun diasuh oleh kakeknya, Syekh Abdurrahman al-Misri. Sayid Usman memperoleh pendidikan tidak dalam lembaga pendidikan formal, melainkan secara pribadi ia belajar dari kakeknya berbagai macam studi agama, bahasa Arab, dasar-dasar ilmu falak-spesialisasi kakeknya- dan adab sopan santun. Ketika berumur 18 tahun, sang kakek meninggal, lantas Sayid Usman memutuskan untuk mengembara ke Mekkah. Dikotaitu, selain menunaikan ibadah haji, ia juga mengagendakan kepergiannya itu untuk melepas rindu dengan ayahnya dan kerabatanya. Selain itu, dikotaitu Sayid Usman mulai menempa diri dengan mendulang berbagai khazanah keilmuan selama tujuh tahun. Kebanyakan dari ayahnya dan Sayid Ahmad Dahlan seorang mufti Syafi’i kondang dan dikenal pula sebagai sejarawan Mekkah.
Setelah itu, Sayid Usman melanjutkan langkah kelananya ke Hadramaut. Di sini, ia kembali me-recaharge pengetahuan agamanya dengan berguru ke sejumlah pendekar ilmu di kota itu, seperti Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Hasan bin Shalih al-Bahar, Habib ‘Alawi bin Segaf al-Jufrie. Di kota ilmu itu, ia menghabiskan hari-harinya dengan menelaah berbagai korpus klasik. Atas permintaan salah seorang gurunya, ia menikah dengan seorang syarifah. Ketika beberapa gurunya telah meninggal, ia memutuskan untuk melanjutkan tapak kembaranya kembali ke Mekkah lalu kemudian ke Madinah.
Seperti banyak ulama terkenal lainnya, Sayid Usman mengkhususkan sebagian dari umurnya untuk “tapa jalan” dengan merogoh dan menambang perbendaharaan keilmuan di belahan dunia yang berbeda. Dari Madinah ia pergi ke Dimyat, Mesir-kampung halaman ibunya-untuk bertemu dengan keluarganya. Dia bermukim di Mesir selama delapan bulan, sekaligus memanen pelbagai disiplin ilmu dari ulama ternama di kotaitu. Tak lama kemudian, kakinya kembali berayun membuka daerah-daerah lain yang belum ia kunjungi seperti ke Tunis, Maroko, Aljazair yang disinggahinya masing-masing selama limadan tujuh bulan. Ia sempat mengunjungi beberapa kotaseperti Marakesh dan Feztempat ia menyemai ilmu-ilmu eksoterik (zahir) dan esoterik (batin). Selain itu, ia juga rajin menyambung kawat persaudaraan dengan jejaring ulama disana, salah satunya dengan MuftiTunis. Setelah merasa cukup, Sayid Usman berlayar keIstanbul, Turki yang ditinggalinya selama tiga bulan. Di ibukota dunia Islam itu, ia bertemu dengan mufti dan Syaikh al-Islam, dan menerima sebuahsurat dari Pasya Madinah kemudian ia pergi ke Palestina, Suriah, dan Hadramaut. Ia kembali keBatavia melalui Singapura pada 1279 H/1862 M. Selanjutnya ia mulai membentangkan kristal-kristal keilmuannya yang digunakan untuk memoles kembali kehidupan umat Islam.
Selain menyibukkan diri dalam perkara-perkara keislaman, Sayid Usman juga merupakan pendakwah yang ulung. Setidaknya Sayid Usman tidak hanya melakukan dakwah bil lisan tetapi juga bil kitab. Dakwah jenis pertamanya, banyak dilakukan di Masjid Al-Islam di depan Rumah Sakit PELNI, tepatnya di belakang POM bensin Petamburan sekarang. Namun, ketika shalat Jumat, biasanya ia melaksanakannya di Pekojan. Selain itu, setiap hari Rabu, ia juga membuka pengajian di rumahnya tak jauh dari masjid tempatnya mengajar itu. Bak perjalanan arus air dari muara mengalir ke sungai, murid-murid Sayid Usman banyak pula yang meneruskan estafet keilmuannya. Di antara mereka yang terkenal adalah Habib Ali al-Habsyi Kwitang, Habib Umar Purwakarta dan Habib Falakiyyah Bogor. Banyak pula muridnya yang berasal dari luarSurabaya ada pula yang dariBanjarmasin.
Sayid Usman juga dikenal sebagai penulis yang prolifik-profetik. Prolifik merupakan suatu ungkapan khas bagi mereka yang giat menelurkan berbagai buah karya berbentuk tulisan. Sedangkan profetik, adalah merujuk pada “jalan sunyi” kenabian. Dengan kata lain, Sayid Usman tidak saja mengangungkan nasab, melainkan juga teladan Nabi SAW yang diutus ke muka bumi sebagai pembawa kabar baik (al-Bashir) dan buruk (an-Nadzir). Sebagai seorang penulis yang sangat lihai menggetarkan jagad keilmuan Nusantara, Sayid Usman mempunyai dua peran yang prestisius. Pertama, kedudukannya sebagai mufti, yang diraihnya degan rekomendasi keluasan ilmu agama yang dimilikinya. Kedua, sebagai guru agama, yang menaburkan ilmunya baik dengan jalur lisan maupun tulisan kepada umat Muslim Nusantara. Sematan mufti, memungkikan gerak pemikirannya untuk mengembara dipadang luas ilmu untuk mendapatkan berlembar-lembar jawaban atas permasalahan yang menggelisahkan ruang publik.
Bagi Sayid Usman, berjuang tak hanya melalui tindakan atawa orasi keagamaan belaka, yang terpenting adalah bagaimana mengabadikan keluasan ilmunya dalam deret demi deret kata bagi generasi masa depan. Selama masa hidupnya beliau telah menulis 144 judul tulisan-terbagi dalam kitab yang tipis-tipis halamannya- dari pelbagai disiplin ilmu. Kitab tulisan Sayid Usman hingga kini masih menjamur dipelajari di sela-sela alam modernitas, salah satunya yang terkenal berjudul Sifat Dua Puluh.
Biasanya, jika ada suatu polemik keagamaan atau sebuah pertanyaan keagamaan yang sedang mengemuka di zamannya, Sayid Usman kerap menjawabnya melalui penanya. Tak ayal, banyak di antara karyanya yang bersifat tematis atau dengan kata lain menulis sebagai solusi atas masalah itu sendiri. Contohnya, ketika umat Muslim Nusantara membutuhkan panduan berhaji yang praktis dan mudah dipahami, Sayid Usman menulis sebuah kitab tuntunan berhaji dalam bahasa Melayu berjudul Kitab Manasik Haji dan Umrah yang terbit perdana tahun 1875 dan mangalami cetak ulang di Mekkah 1310/1892. Boleh dikatakan, kitab ini merupakan “santan” yang diperas dari kitab-kitab babon yang membahas tentang haji seperti dari Kitab Syarh Fadhailul Muluk karya sayid Yusuf al-Baththah, Kitab Idhah karya Imam Nawawi dan Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali. Dalam masalah haji lainnya, Sayid Usman juga tercatat namanya dalam historisitas haji Nusantara sebagai ulama yang mencetuskan karcis pulang-pergi berhaji. Sayid Usman menyatakan;
“een man dus, die wel hard voor het geloof zijner vanderen heeft, noemde dit denkbeld der retourbiljet uit nemend “Patoet Sekali”.
(jadi ia seorang laki-laki yang memang bersikap penuh dedikasi kepada agamanya, menganggap dan menamakan retourbiljet itu “Patoet Sekali”)
Selain itu, jangkauan dakwah dan keilmuan Sayid Usman tak hanya berkutat di Bataviasaja, tetapi juga dibutuhkan untuk memecahkan kebuntuan problematika di daerah lainnya. Contohnya saat terjadi pertentangan ide ketika polemik salat Jumat di Masjid Lawang Kidul Palembang, yang oleh Sayid Usman dipandang “menyalahi” hukum fiqih Syafi’i oleh karena terlebih dahulu sudah ada masjid yang dijadikan lokasi salat jumat yakni Masjid Agung Palembang. Masalah ini juga dijawabnya melalui sebuah tulisan berjudul Khulasah al-Qaul al-Sadid fil Man ihdats Ta’addud al-Jum’at fi al-Masjid al-Jadid. Saat polemik itu terjadi, Sayid Usman memberikan berbagai pertimbangan kepada kantor Algemeene Secretarie di Bogor sehubungan dengan masalah ini. Dalam suratnya itu antara lain dikelaskan;
… menurut mazhab Syafi’i … bahwa di dalam satu jama’ah hanya boleh diadakan salat Jumat di satu tempat saja. Bilamana peraturan ini dilanggar, maka kedua salat Jumat yang diadakan itu menjadi tidak sah. Maka, pengadaan salat Jumat kedua di samping yang sudah ada, dalam hal seperti itu bukan dianggap sebagai pelanggaran yang berat di pihak mereka yang ikut serta di dalamnya, melainkan juga menghalangi para jamaah lainnya dalam melaksanakan ibadah mereka … hendaknya dipahami sebagai satu jamaah, … dalam kitab-kitab fiqih … diuraikan beberapa lebar seharusnya sebuah lapangan, agar dapat membagi menjadi dua jamaah … tidak dapat disangsikan bahwa jamaah masjid baru di Palembang (masjid Lawang Kidul) merupakan satu jamaah dengan kampung masjid yang lama.
Selanjutnya, kitab yang beraroma problem-oriented lainnya adalah Kitab al-Qawanin asy-syar’iyyah li ahl al-majlis al-hukmiyyah wa al-ifta’iyyah yang berarti “Ini kitab segala aturan hukum syara bagi ahli majlis syara dan majlis fatwa syara yaitu yang disebut rad agama, terbit pada 1881 M. Kitab ini berisi pedoman dan tuntunan praktis bagi para hakim dan penghulu di daerah ketika menjalakan perannya di tengah masyarakat. Mereka tergabung dalam suatu dewan agama yang disebut Dewan Ulama. Konon, menurut penuturan Snouck, kitab ini termasuk dalam kategori best-seller, karena ketika terbit pertama kalinya, kitab ini habis terjual. Untuk memenuhi pangsa pasar yang semakin membludak, kitab ini dikemudian hari diperbaiki dan dicetak ulang dalam jumlah besar.
Latar belakang lahirnya kitab ini, adalah karena banyaknya rekues akan pertolongan dari para penghulu, para anggota dewan ulama di Jawa yang banyak mengalami kesulitan dalam memutuskan sesuatu perkara sesuai dengan asas keadilan berbasiskan hukum keagamaan. Problem bahasa juga diperhataikan oleh Sayid Usman, supaya mudah untuk dimengeri para pembacanya. Untuk itu, Kitab Qawanin sengaja didesain menggunakan bahasa Melayu dan ditata sedemikian praktisnya untuk memanjakan para dewan ulama dalam optimalisasi pengambilan keputusan hukum.
Konon, beliau menerbitkan butiran-butiran ide progresifnya melalui mesin lithografi kecil-di zaman itu dikenal dengan nama mesin batu- miliknya. Kemudahan menerbitkan kitab-kitabnya juga berkaitan erat dengan kedekatannya dengan Belanda. Selain itu, tak banyak orang mengetahui, Sayid Usman juga merupakan seorang geografer (ahli ilmu bumi). Hal ini diakui oleh Snouck Hurgronje dalam tulisannya yang mengatakan:
Sayid Usman ibn Yahya al-Alawi yang menjadi terkenal di beberapa kalangan Barat karena penerbitan peta buminya, yang memuat sebuah peta besar dari tanah airnya, Hadramaut. Maksud utama penerbitan itu ialah memperluas pengertian yang lebih baik tentang keanehan , adat istiadat dan pekerjaan penduduk Arab Selatan, yang telah mengirimkan kelebihan penduduknya ke negeri-negeri Islam lainnya sejak berabad-abad lampau.
Salah satu kitab yang banyak mengulas tentang beragam pernak-pernik problematika agama, adalah kitab Adabul Insan yang ditulis menggunakan aksara Melayu-Jawi, pada pasal 27, yang merupakan pasal terakhir tentang saudagar kikir nan tamak yang karena kekikirannya menyebabkan ia jatuh miskin tak terperikan keadaannya. Sayid Usman berwasiat:
Maka, Ingatlah, wahai sekalian saudara, janganlah takabur membesarkan diri atas dha’if miskin. Maka tiada diketahui akan hal ihwal manusia di belakang kalinya.
Kini, nyatalah, betapa Sayid Usman mendedikasikan dirinya sebagai Cultural Broker yang menjembatani problematika umat dengan selancar ide-ide keagamaannya yang senantiasa tajam, segar tapi juga bernas. Hal inilah esensi dari dakwa sesungguhnya, yakni sebagai komitmen menghadirkan suatu pembaruan yang beresensikan ajaran Islam dengan mengganti hal-hal yang lawas dengan yang baru lagi baik, dan senantiasa menjaga warisan ulama terdahulu (al-muhafadzah ala qadimi ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah).
Boleh dikatakan, abad 19 merupakan masa berbunganya pengajaran Islam di tanah Nusantara. Tidak hanya kalangan Sayid, para pendakwah pribumi juga mulai bertaburan dan berkecambah menghiasi persada bilik-bilik Islam di Nusantara, tak terkecuali di Betawi. Pada akhir abad 19, hubungan kawat akademik Timur Tengah-Betawi sedang “menyemesta”. Kaum Sayid di tanah rantauBataviabahu membahu dengan pendakwah lokal untuk membangun suatu ruang lingkup keislaman yang lebih tertata dan merata. Di era ini Betawi disesakkan dengan nama-nama besar seperti Guru Halid di Gondangdia, Guru Mughni Kuningan, Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Marzuki Jatinegara, Guru Mahmud Menteng dan Guru Madjid Pekojan. Mereka adalah alumni-alumni majlis taklim yang sebelumnya telah laris berdiri di tanah Betawi. Galur keilmuan mereka bersambung langsung degan Haramain, pelabuhan ilmu yang sempat diakrabinya pasca menempa ilmu di Betawi.
Kelihaian strategi dakwah para Sayid, menjadi tengara mudahnya Islam bersua dan berpadu dengan denyut hidup masyarakat praJakarta. Malahan, kehadiran mereka dianalogikan sebagai butiran salju yang menyegarkan dan memberikan sentuhan estetik di ranah dakwah Nusantara. Pendek kata, dakwah mereka berhasil diterima dan dipeluk oleh masyarakat pribumi. Mereka tak segan bertukar pikiran dan bersahabat dengan ulama Betawi. Tak ayal, kekhasan inilah yang menjadikan mutiara-mutiara keilmuan yang mereka siarkan tak lantas kaku dan berjarak, melainkan begitu merasuk dan mengendap di alam bawah sadar murid-muridnya, oleh karena berhasil “menaklukan” dan “menggauli” belantara peradaban Nusantara, khususnya Betawi, yang sama sekali berbeda dengan bentara tradisi Hadramaut.
Meskipun dikenal sebagai seorang alim yang berilmu tinggi, Sayid Usman juga tersohor karena kontroversinya. Kontroversi-kontroversinya inilah yang menyebabkan dirinya begitu dihargai oleh Belanda sebagai suatu sikap akomodatif. Salah satu kontroversi yang menarik, adalah penolakannya dengan paham tarekat di Nusantara yang saat itu sedang menggeliat. Menurutnya, Nusantara agaknya belum siap untuk bertarekat. Merujuk pada buah karyanya an-Nasihah al-Aniqah li al-Mutalabbisin bi al-Thariqah (Nasihat yang Elok kepada Orang-Orang yang Masuk Tarekat) hal ini dikarenakan seorang yang hendak bertarekat hendaknya menguasai tiga cabang ilmu Islam yakni ilmu tauhid, fiqih dan ilmu sifat hati (tasawuf) secara holistik.
Kenyataan yang terhampar di bumi Nusantara adalah sebaliknya. Persyaratan tersebut, demikian Sayid Usman, sangatlah berat dipenuhi oleh Muslim di Arab, apalagi Muslim Jawa yang masih bergelimang dalam ajaran-ajaran “menyimpang” dari korpus utama hukum Islam yakni al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Sayid Usman menyebut golongan ini sebagai ghurur atau kesalahan dalam memahami ajaran Islam. Akibatnya, bergabungnya mereka dalam persaudaraan tarekat dipandangnya tidak absah dan cenderung berdosa. Tak ayal, Sayid Usman mendapat kecaman dari para ulama pendukung tarekat di Nusantara, yang menuduhnya sebagai upaya silat lidah untuk meraih simpati pemerintah Belanda.
Fatwanya itu didukung sepenuhnya oleh Snouck Hurgronje, yang mengatakan tarekat merupakan biang keladi dari pemberontakan melawan pemerintah.Parasyekh tarekat hanyalah oknum yang kerap meyakinkan para pengikutnya untuk mengikuti semua perintahnya. Tak jarang, para murid tarekat disuguhi oleh propaganda-propaganda untuk melawan pemerintah. Kasus yang sama pernah terjadi ketika pemerintah Perancis disibukkan oleh perlawanan para pengikut tarekat Sanusi. Lebih jelasnya, Snouck mengatakan:
… Para syekh sudah tergila-gila uang dan kekuasaan, lebih suka menerima hadiah-hadiah yang mahal dari para murid mereka, dan juga organisasi yang besar (tarekat) dan patuh pada perintah, yang dapat dipergunakan sebagai alat agar para penguasa dalam pemerintahan. Oleh karena itu, mereka mengangkat sebagai para wakil mereka di berbagai kota atau negeri, orang-orang yang dianggapnya tepat untuk membantu menjaga kepentingan mereka; para wakil (khalifah) pada gilirannya menerima sebagai anggota organisasi, orang-orang yang karena kebodohan atau suka menderma karena sifat lainnya, dapat dijadikan alat untuk mengisi kocek guru-guru gaib mereka serta mempertinggi kedudukan mereka di dunia.
Secara pribadi, Snouck pernah menanyakan mengapa Sayid Usman menyanggah orang-orang yang rajin mengucapkan kalimah thayyibah dan zikir kepada Allah (kaum tarekat). Dengan meyakinkan Sayid Usman menjawab bahwa sebenarnya ia bukannya menolak kegiatan tersebut. Tetapi yang ia hujani kritik tajam adalah janganlah mempelajari tata cara berzikir dari syekh yang tidak benar. Kemelut konflik ini membawa Sayid Usman dalam perang urat syaraf dengan Syekh Ismail Minangkabau yang dipandang mengadakan “paksaan” bagi penduduk untuk memasuki tarekat Naqshabandiyah yang dipimpinnya. Sejalan dengan ulasan ini, Azra menambahkan pandangan perilaku sufi saat itu dari Sayid Usman merujuk pada Buku Kecil halaman 6-8 adalah;
… He alleges that many sufi shaykh are nowdays more concerned with wealth and social status than with genuine piety. They do not realy commit themselves to Islam but to worldly sastus and enjoyment. They are “false” sufi shaykhs who exploits their followers for their own interest, claiming to be or regarded by certain people as able to do “keramat” things. Because of their ignorance many Muslims believe and pay respect to such false teachers.
( … habib Usman menyatakan bahwa banyak dari syekh sufi di masa itu yang lebih mementingkan kekayaan pribadi dan status sosial tinimbang kesalehan yang murni. Mereka adalah sufi palsu yang mengekploitasi muridnya demi kepentingannya sendiri dan mengklaim diri arau dianggap oleh orang tertentu mampu melakukan berbagai hal “keramat”. Karena keacuhan mereka sendiri banyak orang yang percaya dan menghormati para guru menyimpang itu).
Selanjutnya, ada pula berbagai pandangan kontroversi dari Habib Usman lainnya, salah satunya adalah larangan berjihad. Secara eksplisit, Sayid Usman menyebut jihad yang dilakukan di Banten pada tahun 1888 merupakan kesalahpahaman (ghurur) atas ajaran Islam yang sebenarnya; makna sesungguhnya dari jihad telah disalahartikan oleh mereka yang disebutnya orang-orang yang jahil pada bab jihad. Akibatnya, fanatisme berjihad mereka dilegitimasikan sepihak menjadi perang suci. Aksi-aksi “kepahlawanan” mereka, menurut Sayid Usman, bukanlah jihad, melainkan hanya gangguan dan kekisruhan dalam suasana yang damai. Penjelasan ini termaktub dalam buah tangan Sayid Usman berjudul Minhaj al-Istiqamah fi al-Din bi al-Salamah, terbit pada tahun 1307 H/1889-1890 M.
Selain concern dalam bidang keagamaan, Sayid Usman juga merupakan ulama yang atraktif dalam kancah perpolitikan kaum pribumi, kendati dalam skala yang kecil. Hal ini terlihat jelas dalam upayanya mendukung perjuangan Syarikat Islam (SI), yang merupakan suatu wadah gerakan protonasionalis Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tahun 1911. Kendati berada dalam barisan pemerintah kolonial, tak lantas membuat tumpul ide pergerakan Sayid Usman. SI, yang kala itu menjadi kekuatan oposisi dari Belanda, dibelanya dengan gigih. Sayid Usman menulis sedikitnya dua karya yang secara khusus ditujukan sebagai pledoi SI: Sinar Isterlam pada Menyatakan Kebenaran Syarekat Islam (16 hh), dan Selampai tersulam pada menyatakan Kebajikan Syarekat Islam (8 hh.). Organisasi ini dipandang Sayid Usman sebagai wahana umat Muslim untuk saling membantu (ta’awun) juga sebagai sarana untuk mempererat silaturahim.
Dua pandangan inilah (anti-tarekat dan anti-jihad) yang kerap dijadikan bumerang untuk menuduh Sayid Usman sebagai antek-antek Belanda. Beberapa penulis sejarah hidup Sayid Usman, yakni seperti Snouck Hurgronje, L.W.C. van den Berg, Karel A. Steenbrink dan Azyumardi Azra, belum dapat mengungkapkan secara gamblang, sebenarnya apa motif fatwa-fatwa yang menurut kaum pejuang tanah air dipandang sebagai “salah-kaprah” ini. Terutama pandangan Azyumardi Azra yang mengungkapkan bahwa harus dilakukan penelitian yang benar-benar “lengkap” terkait sepak terjang Sayid Usman.
Atas “kesadaran partisipatoris” Sayid Usman terhadap kelangsungan upaya menyatukan pemikiran umat Islam dalam memahami nilai-nilai keislaman yang berkembang di tengah-tengah kolonialisme Belanda di Nusantara. Maka Belanda begitu mengagungkan sosok ulama Arab Betawi ini. Snouck sangat memuji sikap dan pendirian Sayid Usman yang begitu tangguh berfatwa disertai gelaran-gelaran rujukan klasik nan otoritatif dalam mempertahankan fatwa-fatwanya. Kendati menduduki posisi yang tinggi di jajaran birokrat Belanda, Snouck kerap menjadikan Sayid Usman sebagai rujukan ketika akan menelurkan suatu kebijakan. Dalam percakapanya, Snouck menggunakan bahasa Arab sebagai bentuk penghormatang kepada Sayid Usman. Dalam suatu kesempatan Snouck mengungkapkan:
… Usman memiliki keberanian berdasarkan keyakinannya, dan tidak akan menghentikan perjuangan. … Justru karena itu ulama kita dari Hadramaut ini juga berhak atas terima kasih dan simpati dari mereka, yang bersikap jujur terhadap Hindia Belanda, dan terutama dari pemerintah sendiri. … bahwa orang Arab seperti Usman bin Yahya adalah lebih berharga daripada sejumlah bupati yang “ berpandangan bebas”
Berikut juga merupakan kekaguman Snouck atas kejembaran hati Sayid Usman “menerima” penjajahan dalam upaya untuk “memberadabkan” masyarakat pribumi, yakni sebagai berikut:
Pengetahuannya tentang dunia telah membuatnya dapat menerima adanya penjajahan bangsa-bangsa bukan Islam atas negeri seperti Jawa sebagai suatu “keharusan”; juga dalam hal ini dia, sebagaimana terlebih dulu sudah kita perhatikan, berpendirian tetap menurut teori.
Kesimpulan
Perjalanan hidup Sayid Usman bin Yahya kerap diselubungi oleh berbagai kontroversi. Buah pemikirannya yang menganggap ahli tarekat sebagai sekumpulan orang yang salah dalam beragama dan ketidaksetujuannya dengan konsep jihad melawan pemerintah Hindia-Belanda adalah dua diantara berbagai hal yang mendiskreditkan Sayid Usman yang ditengarai sebagai mata-mata, maupun orang yang berpihak kepada Belanda.
Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah perlu diadakan penelitian yang lebih intens dan kontinyu untuk mebongkar jejak hidup Mufti Betawi ini.Paraahli sejarah pun “dibuat pusing” oleh kisahnya yang serba abu-abu itu. terlepas dari berbagai kontroversi yang meliputinya, Sayid Usman merupakan sosok pendakwah Islam yang sangat berpengaruh di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Buah pikirannya yang dicetak dari mesin litrografi sederhana miliknya, kerap dijadikan rujukan oleh para kaum Sayid belakangan juga para masyarakat umum. Boleh dikatakan, Sayid Usman merupakan salah satu pelopor dakwah yang sukses menanamkan benih-benih keislaman di tanah Betawi dan Nusantara.
Makalah disampaikan oleh Prof. Dr. M. Dien Madjid M.A. dalam acara seminar tentang “Islam di Betawi Abad 19-20, Jaring Ulama dan peranannya” dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2012, diselenggarakan oleh Rabithah Alawiyah, bertempat di gedung Rabithah Alawiyah Lantai IV, Jakarta Selatan
0 Response to "Mengenal Sayid Usman bin Yahya"
Post a Comment